Sewaktu masuk sekolah spesialisasi, saya seneng coz merasa nggak perlu beli buku teks banyak-banyak. Saya kan ambil program studi Obstetri Ginekologi, praktis saya cuman butuh buku teks Obsgin doang dong. Ternyata saya salah. Pada semester satu ini, saya kudu belajar Farmakologi, Statistika, dan lain sebagainya yang sebenarnya hubungannya jauh dari Obsgin yang saya dalemin. Alhasil, saya perlu buku teks lain lagi dong.
Tahu bagian paling menjengkelkan dari buku teks kedokteran? Ilmu kedokteran berkembang terus. Metode yang ditemukan 5-6 tahun lalu, bisa jadi sudah ketinggalan kalau mau dipakai sekarang. Akibatnya, buku teks selalu diperbaharui penerbitnya hampir saban lima tahun sekali. Jadi kalau saya beli sebuah buku tahun ini, mungkin isi buku itu sudah nggak relevan lagi kalau dibaca lima tahun lagi.
Seakan-akan kurang mubazir, saya nyadar bahwa isi buku teks yang paling mutakhir pun ternyata sudah ketinggalan jaman. Coba Anda iseng buka buku teks Anda, lihat halaman referensi di bagian belakang. Ternyata sumber-sumber yang dipakai untuk menulis buku itu, adalah penelitian-penelitian yang dipublikasikan 10-20 tahun lalu. Kesimpulannya, baca buku teks adalah baca hasil riset puluhan tahun lalu, dan tidak kasih informasi apa yang baru dalam 1-2 tahun belakangan. Basi.
Makanya saya males banget beli buku teks. Kalau mau cari informasi anyar, saya lebih milih baca jurnal. Tinggal diseleksi menurut kriteria Evidence-Based-Medicine, apakah jurnal penelitian itu layak dipercayai atau enggak. Untuk keperluan buku teks pada mata-mata kuliah tertentu yang cuman saya butuhkan di satu semester, saya lebih seneng minjem buku teks di perpustakaan kampus. Jelas jauh lebih irit ketimbang beli sendiri.
Tentu saja, ada nggak enaknya. Perpustakaan kampus saya kasih batas waktu dua minggu buat minjem. Padahal saya butuhnya selama satu semester, sekitar enam bulan tho? Untungnya, perpustakaan kampus saya ngijinin peminjamnya memperpanjang peminjaman setiap dua minggu. Alhasil, saban dua minggu, saya bela-belain ke perpustakaan bawa buku-buku yang telah saya pinjam, untuk dicatet bahwa saya mau pinjam buku itu lebih lama. Dan saya melakukan itu tepat waktu, terus-menerus, selama satu semester. Saya sampek menerapkan hari Jumat sebagai Hari Lapor Buku ke Perpustakaan.
Hasilnya nggak sia-sia. Nilai saya lumayan bagus buat mata-mata kuliah yang saya pinjem bukunya dari perpustakaan. Ini mematahkan mitos bahwa kalau mau dapet nilai bagus harus beli buku teks banyak-banyak. Saya nggak beli, cuman minjem gratis..
Toh sampek hari ini saya nggak tahu manfaat jangka panjang buku teks. Buat mahasiswa yang cuman kuliah 5-6 tahun, beli buku teks mungkin berguna; tapi setelah dia lulus, apakah buku teks itu masih bermanfaat? Saya bahkan nggak tahu apakah buku teks juga punya nilai investasi jangka panjang buat dosen. Mengingat prinsip kemutakhirannya yang cepat kadaluwarsa, saya rasa akhirnya buku teks cuman bisa jadi sarang debu atau bahkan jadi sarana nakut-nakutin tamu yang main ke rumah.
Saya bahkan lebih seneng baca e-book ketimbang buku teks. Kalau mau cari kata tertentu di e-book, cukup pakai search engine. Lha pakai buku teks, mata saya bisa sepet gara-gara bergerak seperti scanner. Indeks tidak selalu membantu.
Cuman sebelnya, dari e-book nggak bisa ambil gambar untuk copy paste ke dalam karya ilmiah saya. Alhasil, buat bikin gambar, saya kudu usaha sendiri deh.
Padahal di luar negeri sana, sudah ada bisnis penyewaan buku teks. Buku teks disewakan dalam jangka beberapa bulan, cocok buat mahasiswa yang cuman butuh buku teks tertentu dalam satu semester saja. Cukup pesan via online, dan buku akan dianterin ke kamar asrama kita. Jadi nggak kuatir akan kehabisan buku buat dipinjam deh. Kapan ya di Indonesia mau ada bisnis beginian?
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com