Sunday, May 1, 2011

Tembus Bioskop, Menjaring Penggemar

Tahu peminatnya sedikit, mereka melebarkan sayap promosinya ke khalayak luas dengan menggelarnya di bioskop. Kalau perlu, demi menarik minat orang banyak, penonton pun nggak ditarik bayaran, alias gratis.

Hey, pada tahu nggak, sudah 16 kali Kedutaan Besar Perancis menggelar festival film Perancis di Indonesia? Jarang-jarang lho ada yang ngeh, soalnya lantaran filmnya memang pakai bahasa Perancis, jadi penontonnya ya rata-rata penggemar kebudayaan Perancis. Nggak heran, festivalnya ya digelar hanya di tempat-tempat tertentu, paling sering ya di tempat les bahasa Perancis. Lama-lama, terbersit keinginan buat mempromosikan kebudayaan Perancis di tempat-tempat yang lebih umum, supaya menjangkau lebih banyak pasar. Makanya tahun ini festival film Perancis nggak cuman digelar di tempat les bahasa Perancis doang, tapi film-filmnya juga diputar di bioskop-bioskop XXI yang berserakan di Indonesia. Dan supaya lebih menarik, penontonnya pun nggak usah bayar!

Tahun ini, festival film Perancis digelar di Jakarta, Bandung, Jogja, Denpasar, Balikpapan, dan tentu saja saya kebagian nonton di mal Surabaya Town Square. Sebenarnya banyak banget film yang diputer di festival ini, dan hampir semua filmnya pernah menangin penghargaan macem-macem. Tapi nggak semua film diputer di setiap kota, mungkin lantaran keterbatasan bioskop juga yang bersedia nerima penonton gratisan. Setiap kota kebagian menggelar film gratisan ini selama dua hari, dan Surabaya kebagian dapet lima film. Saya nonton sama geng saya kemaren.

Sewaktu kami masuk bioskop buat nonton film pertama, Welcome, karyanya Philippe Lioret, kami nggak perlu antre lama-lama buat bisa masuk teater. Teaternya cuman terisi setengahnya, nampaknya karena nggak banyak orang yang tahu bahwa di mal itu lagi digelar acara nonton film gratis. Promosinya memang nggak terlalu jor-joran, paling-paling di lobby bioskop cuman ada X-banner satu lembar bertuliskan Festival Sinema Perancis. Saya tahu secara kebetulan ada festival ini dari Twitter, coz saya mbuntutin account-nya @CCF_Bandung dan @CCCLSurabaya (account resminya pusat kebudayaan Perancis di Bandung dan Surabaya).

Film Welcome-nya sendiri bagus banget! Ceritanya tentang usaha seorang perenang bernama Simon Calmat (Vincent Lindon) yang tinggal di Perancis dan berupaya ngajarin Bilal Kayani (Firat Ayverdi) supaya bisa berenang. Alasan gilanya, Bilal kepingin nyebrang Selat Dover demi ketemu pacarnya, Mina (Derya Ayverdi), yang tinggal di Inggris. Kenapa harus berenang?

Soalnya Bilal nggak legal kalau nyebrang pakai kendaraan yang lewat pelabuhan resmi. Kenapa nggak legal? Soalnya Bilal adalah imigran gelap asal Irak yang nggak punya surat-surat resmi untuk boleh keluar dari Irak..

Saya suka film ini coz di film ini saya dapet banyak banget pengetahuan baru. Perancis ternyata nggak membolehkan warganya nolongin imigran gelap, coz takut imigran bawa penyakit nular atau bikin kriminal. Di sini saya lihat perasaan manusiawinya Simon buat nolongin Bilal, antara takut melanggar hukum lantaran ngumpetin imigran gelap dan kesiyan lihat Bilal yang setengah mati belajar berenang demi ketemu Mina. Terharu juga sama perjuangannya Bilal; demi ketemu pacar, Bilal lari dari Irak, ditangkep pulisi Turki dan dihukum dengan dibekap dalam tas plastik selama berhari-hari sampek trauma kalau harus nahan napas lama-lama. Padahal buat bisa berenang, kan harus banyak-banyak nahan napas..

Film kedua sempat nonton juga, tapi saya dan geng nekat keluar teater di tengah-tengah filmnya gara-gara filmnya ngebosenin. Maklumlah, soalnya film dokumenter, nggak ada konfliknya, jadi nggak seru, hihihi.. Lumayan sih bisa kabur sebentar, soalnya kalau maksa nonton semua filmnya berturut-turut, penontonnya nggak akan sempat sembahyang tuh. Lha tiap film rata-rata durasinya pas hampir 120 menit.

Film ketiga saya sukaa banget! Judulnya Les Enfants de Timpelbach, garapannya Nicolas Bary. Film ini cocok banget ditontonin semua umur coz judulnya aja memang tentang anak-anak di desa Timpelbach. Ceritanya, ada sebuah desa yang mana anak-anak penduduknya nakal-nakal semua. Orangtuanya pada kewalahan coz anak-anak itu saking bandelnya, sampek akhirnya mereka mutusin supaya semua orang tua pergi dari desa. Akibatnya anak-anak itu kelimpungan bak anak ayam kehilangan induk, dan terpaksa beresin masalah mereka sendiri sehari-hari tanpa orang tua..

Bahkan kalau ada DVD-nya pun, kayaknya saya juga mau cari coz nih film bikin semua penonton ngakak dari awal sampek kelar. Sinematografi yang canggih, nunjukin bagaimana Wolfgang (Terry Edinval) bikin sistem pembangkit listrik tenaga air a la tahun ’10-‘30an hanya dengan pakai alat sederhana, supaya cowok-cowok di desa bisa mandi semua. Ada cinta-cintaan monyet si kecil cupu Manfred (Raphaël Katz) yang ngegebet Mireille Stettner (Lola Créton), cewek bermulut silet yang jauh lebih tua dan lebih jangkung ketimbang Manfred. Dan kisah gangster-gangsteran a la kanak-kanak, ditandai Robert Lapointe (Léo Paget) yang dikirim geng anak-anak jail tapi manis pimpinan Marianne (Adèle Exarchopoulos) buat mata-matain gengnya Oscar Le Rouge (Baptiste Bétoulaud), tapi buyar gara-gara terbongkar oleh Willy Hak (Martin Jobert), tipikal asisten pemimpin gang yang sirik lihat anggota baru yang lebih pintar.

Makin sore, ternyata penonton festival makin banyak. Teater mulai penuh pada pemutaran film ketiga, sampek-sampek XXI terpaksa kudu pasang pita pembatas demi ngatur antrean penonton yang kepingin nonton gratis. Penonton yang nggak bisa ngomong Perancis pun nggak usah panik, coz semua filmnya dikasih terjemahan ke bahasa Inggris. Hm..sayang ya cuman digelar di enam kota doang. Moga-moga tahun depan Kedubes Perancis bisa bikin acara nonton gratis ini di lebih banyak tempat lagi. Syukur-syukur, kalau perlu, digelar di layar tancep aja, hihihi..