Tuesday, May 3, 2011

Ngambek Sama Nyokap

Tahu nggak, saban kali saya cerita yang merepet-repet tentang bonyok, pasti ada aja yang komen: "Kasihan lho, kok orangtuanya dijelek-jelekin, padahal orang tua sudah melahirkan kamu, membesarkan kamu, dan lain-lain et cetera bla bla bla.." Dan yang biasanya komentar gitu ya blogger yang sudah jadi orang tua, dan lupa diri rasanya jadi anak. Hah, biasanya saya nggak ambil pusing, coz komentator yang menghakimi kayak gini pasti nggak baca blog saya dari paragraf awal sampek akhir. Jadi kalau dia nggak perhatian-perhatian amat sama esensi tulisannya, akan sulit dia memahami perasaan penulisnya, maka ngapain tuh komentar diambil pusing, hm?

Ini cerita tentang saya puluhan tahun lalu, waktu usia saya masih 17 tahun. Jaman itu lagi ngetop-ngetopnya film 10 Things I Hate About You-nya Julia Stiles dan Heath Ledger. Saya kepingin nonton, lalu pas lagi ngobrol-ngobrol sama seorang teman bernama Amanda di sekolah, jadilah kita sepakat mau nonton film itu berdua nanti sore. Hari itu, kami akan pulang sekolah jam 11 siang, makan siang di rumah masing-masing, lalu cabut buat ketemuan di bioskop jam 3-an sore buat beli tiket. Terus nonton deh..

Siang itu saya pulang sekolah dengan hati seneng karena mau nonton sore-sore. Saya sampek di rumah, lihat nyokap lagi masak di dapur, lalu tanpa tedeng aling-aling saya bilang ke nyokap, "Mom, nanti sore Vicky mau nonton film di BIP sama Amanda ya?"

Eh, nggak taunya..nyokap saya balik badan dan ngomong ke saya dengan intonasi yang sama sekali nggak enak didengar, "Ngapain koen kok nonton?"

Saya terhenyak. Eh, apakah ada yang salah? "Ngg.." suara saya mulai ragu-ragu. "Iya, Vicky janjian sama Amanda mau nonton bioskop.."

Nyokap saya, entah kenapa, tahu-tahu marah sekali denger saya mau nonton. (Adegan ini saya lupa persis gimana ceritanya, mungkin karena saya begitu sakit hati dimarahin, lalu saya lupakan di memori. saya yang terdalam). Saya dibentak-bentak, dimarahi, dan entah apa lagi, pokoknya akhirnya, saya nggak tahan dan lari dari dapur ke ruang tengah tempat pesawat telepon. Lalu saya pencet nomer rumah Amanda.

"Amanda?" saya megang gagang telepon dengan gugup. "Amanda, maaf ya, kayaknya nontonnya nggak jadi."
Amanda kedengeran kaget. "Lho, kok nggak jadi sih?"
"Iya nih, nggak jadi," tahu-tahu suara saya mulai bindeng. "Nggak boleh sama nyokap!"
Amanda terdiam. "Vic," sekarang dia bingung. "Vic, kamu nangis ya?"
Saya diam. Gagang telponnya mulai basah kena air mata saya. "Nggak," tukas saya. "Maaf ya." Spontan saya nutup telpon.
Lalu saya masuk kamar saya, saya kunci, dan saya nggak keluar-keluar. Saya mbekap idung saya pakai bantal, dan saya nangis sampek ketiduran.

Bokap saya sempat bangunin saya buat makan siang, tapi saya nolak dan nggak mau bangun. Saya rasa saya sakit hati.

Pikiran anak usia 17 tahun saat itu adalah, kenapa saya nggak boleh nonton bioskop? Kan sekarang bukan musim ujian, nggak pa-pa dong saya senang-senang?
Apakah nyokap takut saya ngabis-ngabisin duit bokap dengan berfoya-foya? Lho, nggak ada tiga bulan sekali saya nonton bioskop..
Apakah nyokap takut saya kehujanan? Lho, sekarang kan bulan Juni dan bukan waktunya musim hujan..
Atau jangan-jangan, nyokap nggak mau saya main sama Amanda? Tapi kan Amanda anak baik, mosok saya nggak boleh main sama dia?
Dan berbagai macam pikiran jelek lainnya yang bikin bantal saya makin basah.

Yang lebih jauh lagi, saya nangis karena saya malu sudah batalin janji. Amanda mungkin sudah seneng mau nonton sama saya, dan kalau saya batalin nonton, dia akan kecewa coz nggak punya temen buat nonton bareng.
Dia mungkin sebenarnya bisa aja janjian sama temen lain yang nggak sepermainan dengan saya, tapi dia milih pergi sama saya, mungkin untuk menjaga persahabatan.
Dan saya pasti telah membuatnya bingung coz (nyokap) saya telah batalin janjian kami seenaknya begitu aja. Mbok ya nyokap saya mikir sampek sejauh itu, gimana rasanya orang yang udah kadung seneng banget, tahu-tahu batal seneng karena dilarang lantaran alasan nggak jelas?

Menjelang sore, nyokap saya bangunin saya dari tidur siang yang nggak enak. "Ky, Ky, bangun, Nak. Maaf ya, Mom minta maaf ya?"
Saya bingung, dengan separuh nyawa masih tidur.
"Tadi Vicky sudah janjian sama Amanda mau nonton bioskop?"
Saya ngangguk.
"Terus tadi gara-gara ndengerin Mom, Vicky nelfon Amanda bilang nontonnya nggak jadi?"
Saya ngangguk.
"Owalah..besok, pas Vicky di sekolah, bilang sama Amanda, Mom minta maaf karena bikin kalian nggak jadi nonton, ya? Tadi waktu Vicky pulang sekolah, Mom memang lagi marah, tapi Mom nggak lagi marah sama Vicky.. Maaf ya, gara-gara pikiran Mom lagi sebel, kalian kena imbas nggak jadi nonton.."
Saya tertegun. Eyalah, jadi bukan salah saya tho?

Memang kalau saya pikir lagi, tadi siang itu, ekspresi nyokap saya lagi be-te. Entah lagi be-te sama asisten pribadinya yang kerjanya nggak bener, atau be-te sama masakan yang salah bumbu. Saya memang nggak sempat perhatikan ekspresi nyokap saya pas saya pulang sekolah tadi.

Kata nyokap saya lagi, "Besok tanyain lagi sama Amanda, mau nggak nonton lagi? Kalo dia mau, duit buat nontonnya Mom kasih.."
Saya ngangguk. "Okey."
"Ya sudah. Sekarang koen sholat Ashar, terus mandi. Apa mau makan? Tadi siang koen nggak makan tho?"
"Sholat dulu, terus makan.." Saya bangun pelan-pelan.
"Ya wis, Mom minta maaf ya? Vicky jangan nangis lagi ya?" kata nyokap saya sambil nyium saya.

Besoknya, betulan saya ngomong gitu ke Amanda. Untung Amanda nggak marah. Kami pergi nonton dua hari kemudian, ketawa ngakak di bioskop, dan itu jadi salah satu film favorit kami.

Amanda menikah 10 tahun kemudian. Nyokap saya dateng ke pernikahannya. Justru saya yang nggak dateng, lantaran saya lagi tugas negara di Cali dan nggak bisa naik pesawat ke Bandung.

***

Saya butuh waktu bertahun-tahun untuk memahami kejadian siang itu.
1. Orang tua, selaku manusia, bisa kena bad mood, dan dalam keadaan itu, orang-orang di sekitarnya bisa kena jadi sasaran kemarahannya. Termasuk anaknya pun jadi sasaran, biarpun anaknya nggak salah apa-apa.
2. Anak selalu didoktrin buat nurut sama orang tua. Termasuk nurutin orangtuanya yang lagi bad mood. Akibatnya, ketika dia harus ngorbanin keinginannya sendiri demi nurutin orangtuanya yang lagi bad mood, dia jadi stress.
3. Kita tidak pernah tahu bagaimana kemarahan kita bisa mengorbankan orang lain. Nyokap saya nggak mengira bahwa gara-gara bad mood-nya siang itu yang mengakibatkan intonasi suaranya jadi ketus, saya terpaksa mengorbankan teman saya.
4. Nyokap saya menyadari itu tidak benar, oleh karena itu nyokap minta maaf. Sudah selayaknya orang tua minta maaf kepada anak jika sifat error-nya orang tua sampek menyakiti hati anak. Dan sebagai anak, saya belajar perlahan-lahan untuk memaafkan orang tua saya yang juga manusia.
5. Saya bisa aja membela janji saya dengan Amanda siang itu, dan tetap ngotot pergi nonton biarpun nyokap saya lagi ngamuk. Tetapi alasan saya tidak pergi siang itu, coz saya tidak tahu apakah Tuhan akan mufakat dengan keputusan saya yang nggak mau nurut sama larangan orang tua. Jika memang benar bahwa ridho Tuhan tergantung pada ridho ibunda, apakah doktrin itu berlaku juga pada ibunda yang lagi be-te dan lagi nggak bisa mikir jernih?

Tulisan ini saya persembahkan buat semua orang tua yang sering mengeluh tentang anak-anaknya. Saat anak-anak ngambek kepada Anda yang sudah membesarkan mereka, sebaiknya Anda berpikir, kenapa mereka begitu sulit memahami jalan pikiran Anda?