Thursday, May 19, 2011

Dikiranya, Teman Dokter Itu Enak

Sewaktu saya memperkenalkan diri dan bilang bahwa saya dokter, reaksi orang hampir selalu seragam, "Waah..enaknya! Berarti kita bisa konsultasi gratis dong!"

Tadinya saya pikir juga demikian. Saya sangka dengan akses saya yang cukup gede pada macem-macem spesialistik kedokteran, bisa bikin saya sehat sentosa. Ternyata saya salah.

Dimulai dari ulah saya yang tadinya kepingin ngilangin kapalan di jari kaki saya, akibat saya keseringan pakai sepatu yang terlalu kencang. Kolega saya asisten dokter kulit. Kalau saya berobat sama dia sih, dia kasih saya resep gratis. Untungnya kapalan saya masih jenis yang tipis, kata kolega saya sih bisa ilang kalau saya rajin pakai pelembap. Tapi kalau tebel, baiknya di-cauter. Lha cauter-nya itu yang kudu mbayar, soalnya zat kimia yang dipakai kan bukan bikinan tangannya kolega saya. See, ternyata punya teman yang seorang dokter kulit tidak lantas membebaskanmu dari kapalan.

Nyokapnya teman saya, seorang dosen hukum, cerita bahwa dirinya suka cenat-cenut pusing nggak karuan. Beliau kepikiran mau periksa ke dokter aja, dan kebetulan salah satu mahasiswa hukumnya adalah putri seorang dokter internis, jadi si Tante mau berobat ke dokter internis itu aja. Si dokter internis pun nyanggupin janjian lewat telepon, dan si Tante dikasih antrean nomer pertama. Tiba di tempat praktek si dokter, praktis si Tante nggak disuruh ngantre, boleh masuk duluan. Tanpa ba-bi-bu, tanpa periksa badan, dokternya cuman kasih selembar kertas buat periksa lab dan kasih sebungkus obat untuk stok sebulan tanpa nebus resep. Semuanya gratis.
Si Tante malu sekali karena digratisin dan semenjak gitu nggak pernah dateng lagi ke tempat praktek si dokter. Saya bingung di sebelah mana malunya, apakah malu karena diperlakukan istimewa (nggak usah antre) atau karena dikasih gratis untuk full service.

Nyokap saya sendiri lain lagi. Sudah lama sekali belasan tahun lalu, nyokap saya pernah sakit gigi. Terus nyokap saya berobat ke dokter gigi. Setelah diobatin, dokternya pesen, itu giginya nggak boleh dikorek-korek.
Nah, pengobatan gigi itu kan nggak langsung sembuh. Tuh nyeri kumat dan karena nggak tahan nyeri, nyokap saya ngorek-ngorek gigi yang sakit itu. Alhasil, bukannya sembuh, nyeri giginya makin menggila. Nyokap saya sampek nangis berhari-hari karena kesakitan. Nyokap saya nggak mau balik ke si dokter lantaran tengsin, sudah melanggar nasehat si dokter. Padahal, dulu berobat ke dokter giginya kan nggak mbayar, gara-gara dokter giginya masih kolega bokap saya.

Tadi malem, saya senewen gara-gara denger bokap saya ngomel panjang pendek. Bokap saya baru beli modem dan kesulitan menginstalasi modem anyar itu. Soalnya, tulisan di pedomen manual modemnya kecil-kecil, dan bokap saya nggak bisa baca.
Saya sebel banget kalau bokap saya udah ngomel soal penglihatan burem lagi. Tahu masalahnya? Bokap saya beli kacamatanya dengan ukuran plus yang asal-asalan, tanpa mau diukur dengan benar. Sudah berapa kali saya minta bokap saya ke dokter mata, supaya bokap saya bisa tahu plusnya itu ukuran berapa, jadi bisa beli kacamata yang bener. Tapi bokap saya selalu aja nolak. Saya tahu alasan sebenarnya. Bokap saya sungkan sama dokter mata, soalnya pasti dokter mata menolak dibayar. Kan kalau pasiennya sama-sama dokter, nggak boleh minta bayaran..

Tuuh kan. Siapa bilang punya temen dokter itu enak? Awal-awal pasti seneng karena berobat gratis. Tapi lama-lama ya sungkan, mosok mau gratis terus?

Bahkan dosen saya, seorang profesor psikiatri, pernah cerita bagaimana beliau kudu menahan malu gara-gara nggak bisa bereskan urusan livernya sendiri yang sakit gara-gara ada kista. Sudah konsul ke profesor mana-mana (dengan gratis, tentu!), termasuk ke Sinx, tapi malah jadi pusing tujuh keliling lantaran kista livernya nggak kunjung sembuh. Sampek akhirnya beliau mutusin buat iseng berobat ke seorang internis di Jakarta. Pakai nama samaran, nggak pakai gelar medisnya yang seabrek itu. Dan berobatnya bayar.

Apa jawaban si internis itu, coba?
"Ibu, obatnya cuman satu," tukas si ahli internis. "JANGAN STRESS!"
Dosen saya terlonjak kaget. Sedikit tersinggung. Lha beliau kan psikiater, mosok divonis kalau dirinya stress?

Tapi kemudian beliau merenungkan kata-kata si ahli internis, dan akhirnya nyadar kalau dirinya memang punya gangguan alias stress. Jadi beliau belajar menerima kelainannya itu pelan-pelan, dan anehnya sejak itu, kista livernya nggak pernah terasa sakit lagi. Maka beliau pun kirim surat ke si internis, berterima kasih karena telah "diobati", dan berterus terang bahwa sebetulnya dirinya adalah seorang psikiater, tak lupa mengirimkan si internis sekardus besar kripik udang.
Si internis malah jadi malu, mohon maaf karena telah menarik bayaran medis gara-gara nggak tahu bahwa pasiennya itu sebenarnya juga dokter.

Saya rasa, dokter menanggung risiko berupa gangguan kesehatannya sendiri, kalau dia sungkan berobat ketika dirinya sakit. Dan rasa sungkan berobat itu meningkat, lantaran dia merasa tidak membayari dokternya dengan imbalan yang pantas. Dan dia tidak membayar karena pasti dokter yang dikonsulin menolak bayaran. Dokter harus memperlakukan teman sejawatnya seperti saudara. Artinya, sesama dokter nggak boleh menarik bayaran.

Dokter yang dikonsulin kadang-kadang juga pelit bicara. Coz, disangkanya koleganya yang berobat itu sudah ahli, jadi nggak usah diterangin panjang-pendek. Padahal, koleganya itu berobat karena memang sudah nggak tahu harus bagaimana mengobati dirinya sendiri.

Makanya saya selalu berusaha nyamar tanpa nyebut profesi asli saya jika saya sendiri berobat. Supaya dokter yang saya konsulin nggak sungkan menasehati saya sampek ke hal-hal kecil. Dan supaya saya sendiri nggak tengsin gara-gara lupa pada hal-hal cetek yang mestinya sudah saya hafal semenjak kuliah. Coz kita berobat ke dokter untuk cari pertolongan, kan? Dan kita cari pertolongan coz kita nggak bisa nolongin diri sendiri, kan?
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com