Sunday, May 15, 2011

Putus Fesbuk?

Tidak semua orang bisa menerima pengaduan dengan baik. Malah, tidak semua orang bisa membedakan, mana itu mengadu, mana yang cuman ngingetin, mana yang bahkan cuman cerita-cerita.

Alkisah, saya punya sepupu yang masih a-be-geh. Dasar a-be-geh ya, kalau nulis status tuh isinya ya nggak jauh-jauh dari kehidupan alayismenya (ya ampun, apa sih istilah yang tepat dari alay-isme?)
Nah, kadang-kadang dia misuh-misuh gitu, mulai dari misuh soal temen-temen sekolahnyalah, soal pacarnyalah, kadang-kadang soal gurunya atau bahkan bonyoknya. Saya suka geli sendiri ngebacanya, alangkah cemennya kalau ngebandingin persoalan a-be-geh dengan persoalan saya sendiri, mengingat selama beberapa bulan terakhir, orang-orang yang saya pisuhin kebanyakan adalah pejabat pemerintah. Kadang-kadang saya pikir remaja-remaja itu lebih realistis daripada orang dewasa. Kenapa orang dewasa mau-maunya misuh-misuh tentang pejabat, padahal kenal aja enggak? Coba Anda pikir sedikit, pernahkah Anda ngirimin kartu Lebaran secara pribadi kepada Tifatul Sembiring? Kalau enggak, kenapa Anda ngolok-ngolok Pak Tiff?

*nggak penting*

Nah, nyokap saya kan friend-an sama sepupu saya yang suka misuh itu di Fesbuk (saya benci menggunakan istilah 'berteman' untuk dunia maya). Ya yang namanya juga orang tua ya, lama-lama risih lihat status muda-mudi jaman sekarang (ceilee..bahasaku! *dilempar Macbook*) yang isinya misuh-misuh melulu. Jadi suatu hari nyokap saya ngomong sama maminya sepupu saya itu kalau sepupu saya itu suka ngomong yang..yah, mungkin kurang pantas didengar.

Berikutnya, beberapa waktu kemudian, nyokap saya di-remove dari daftar friend sepupu saya itu.
Hahaha!

Nampaknya, kesimpulan nyokap saya, tiap anak punya orang tua sendiri-sendiri, jadi nggak perlulah ada orang lain yang menasehati anak itu selain orangtuanya.

Justru sekarang saya yang ketawa terbahak-bahak dalam hati. Saya rasa, sebenarnya itu kesalahan sepupu saya. Tidak, kesalahannya bukanlah me-remove nyokap saya dari daftar friend. Kesalahannya adalah membiarkan orang tua yang TIDAK MEMAHAMI KONTEKS ke-alay-annya untuk membaca status Fesbuknya.. :p

Ya know, selalu ada gap budaya yang nggak bisa dijembatani antar tiap generasi. Kalian pikir, kenapa di toko baju selalu dipisah antar segmen orang dewasa dan segmen anak, bukan dicampur-campur? Karena nggak ada ceritanya orang dewasa nyaman milih-milih baju jika di deketnya ada anak-anak yang berantem rebutan siapa yang milih duluan baju motif Powerpuff Girl. Demikian juga, kenapa toko mainan harus dipisah antar segmen dewasa dan segmen anak? Karena anak-anak lebih suka mainan gelembung sabun buat ditiup-tiup, sedangkan orang dewasa pakai mainan sabun buat dioles-oles ke anu-nya. See? Inilah sebabnya tiap generasi punya ruangannya sendiri-sendiri, jadi kalau sampek dua generasi yang berbeda jalan pikiran itu berada di dua ruangan yang sama, pasti akan ada konflik. Konflik itu bisa macem-macam, versi besarnya mungkin perang mulut, versi kecilnya mungkin sebel-sebelan doang lihat kelakuannya.

Bisa nggak, dua generasi yang berbeda duduk di ruangan yang sama tanpa konflik? Ya bisa dong. Caranya ya jelas, yang satu kudu bisa memahami gimana rasanya berdiri di sepatu yang lain. Anak, mestinya tahu bahwa risiko friend-an Fesbuk dengan orang tua, entah itu dengan bonyoknya, dengan pakde-budenya, dengan dosennya, atau dengan entah siapa, adalah apapun yang dia tulis akan ditanggapi dengan a la orang tua. Artinya dia akan menghadapi risiko "digurui", yang mungkin merupakan risiko yang dia nggak sukai. Demikian pula, orang tua juga mestinya tahu kalau friend-an Fesbuk dengan anak, entah itu anak masih remaja atau sudah kerja sekalipun, risikonya adalah membaca status-status yang mungkin terasa kekanak-kanakan baginya. Jika dia menanggapi status itu dengan nada menggurui, yang jelas tanggapannya nggak akan menyelesaikan masalah yang sedang dihadapin si anak, bisa jadi anak malah sebel ditanggapin orang tua, dan akan bereaksi macem-macem, mulai dari menghapus tanggapan sampek membuang dari daftar friend.

Kata kaum tua, kaum muda harusnya berterima kasih karena dia diberi tahu tentang cara yang benar. Lha saya rasa, kebenaran itu nggak ada yang absolut, artinya belum tentu apa yang benar bagi kaum tua itu adalah benar bagi kaum muda. Mungkin sepupu saya merasa lebih baik kalau dia menyelesaikan masalahnya dengan misuh-misuh di Fesbuk, coz dengan cara itu seluruh dunia bisa tahu bahwa temennya mungkin telah berbuat jahat kepada sepupu saya dan sepupu saya berusaha melawan. Meskipun dalam pandangan orang tua, misuh-misuh itu bukan tindakan yang pantas. Ngomong-ngomong, tindakan yang lebih pantas itu gimana, Om? Tante?

Saya pikir, mungkin ini sebabnya, sampek hari ini masih banyak temen saya yang ogah di-follow orangtuanya di Twitter, coz mereka sudah jenuh diawasin orangtuanya yang sudah pada pensiun itu di Fesbuk. Sebenarnya, ada banyak cara lho menyaring aspirasi-aspirasi yang nggak diinginkan supaya nggak jadi rentetan sampah di timeline atau news feed kita. Mulai dari pakai aplikasi Mute di Twitter ataupun Hide di Facebook (saya pakai aplikasi ini untuk menghindari status sampah dari orang-orang tertentu, misalnya friend yang siaran online shop melulu, atau friend yang statusnya penuh dengan memaki-maki Amerika), sampek memblokir orang-orang tertentu supaya mereka nggak bisa baca status kita (tanpa harus remove mereka dari daftar friend).

P.S. Kalau ada orang lain ngomong yang jelek-jelek tentang anakmu, kamu nggak perlu menanggapi mereka dengan serius. Bisa jadi itu benar, bisa juga salah. Tapi kalau pun itu benar, nggak perlu bilang, "Mama malu waktu Bu De X ngomong kamu suka makan sambil kecap-kecap!" karena itu hanya bikin anakmu jadi sebel sama Bu De X. Cukup bilang aja kepada anakmu, "Mama rasa, sebaiknya kamu berhenti makan dengan mulut kecap-kecap. Kamu kedengeran seperti kuda yang suka makan rumput di Selabintana." That's it.

Eh, ini posting saya kok jadi bernada menggurui pula ya? Haiyaa..siap-siap deh bentar lagi saya di-remove. Hihihi..
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com