Wednesday, February 25, 2009

Hantam Si Ngeyel


Ngeyel adalah ngeyel. Tidak percaya itu lumrah. Pasien suka nggak percaya dokter, biarpun katanya kami bisa nolongin orang sakit. Seperti halnya keluarga pasien gw yang nggak percaya waktu gw bilangin pasiennya punya darah tinggi. "Masa' sih Dok?" tukasnya. "Kan cuma 150?"....

Gw tersenyum geli. *CUMA katamu?!*

Gw bisa ngerti kenapa orang awam itu ngga percaya gw. Pasiennya baik-baik aja kok, masih bisa jalan, masih bisa dagang, ngga keliatan sakit apa-apa. Kalo tekanannya udah 200, naah..itu baru darah tinggi. Gitu menurut nalarnya yang awam itu.

Apa yang akan kamu lakukan kalo ada di posisi gw? Alternatifnya bisa begini:
1. "Bapak ngga percaya ya? Nih alat tensimeternya, ukur aja sendiri!" sambil nyodorin spigmo dan stetoskop sekalian.
2. Dengan gusar berkata, "Sampeyan kalo ngga percaya ya sudah! Ngapain tanya-tanya saya? Tanya aja sama orang lain!"
3. Menatapnya dengan a la If-Looks-Could-Kill, dan berkata dengan tenang, "Yang dokternya siapa di sini? Saya atau situ?"

Gw nggak melakukan ketiganya. Gw nggak mau pinjemin dia stetoskop gw, coz takut kuping dia congekan. Gw nggak nyuruh dia cari dokter lain, coz itu bukan ide bagus untuk menyuburkan rejeki gw. Dan tatapan gw nggak membunuh; sebaliknya, tatapan gw sangat lembut dan provokatif. *kena timpuk*

Maka, gw tinggalin bentar tuh pasien, lalu gw masuk kamar. Keluar lagi, bawa buku STANDAR PELAYANAN ILMU PENYAKIT DALAM. Di depan idung sang keluarga tukang ngeyel, gw bukain bab Hipertensi.

"Gini lho Pak. Bapak liat kan yang ditulis di dalam sini? Tekanan yang normal itu, tekanan atasnya harus di bawah 120, dan tekanan bawahnya harus di bawah 90. Kalau sudah di atas 140, seperti yang ditulis di sini, namanya hipertensi. Alias darah tinggi. Tekanan 140 aja udah DARAH TINGGI, apalagi 150..?" gw berusaha supaya nada gw seperti sedang menerangkan kepada anak TK bahwa 1 + 1 = 2, bukan 11.

Sang keluarga tak berkutik. Dia kan guru SD, ya mana mau melawan buku? Lalu kata pasien gw, yang hanya seorang pedagang pasar itu, "Kalau sudah bawa buku kedokteran, pastilah benar yang dibilang Dokter."

Akhirnya sang keluarga pun mengeluh, "Kenapa dokter-dokter yang dulu praktek di sini ngga bilang kalau darahnya sudah tinggi? Kenapa baru sekarang kita diberi tahu yang begini? Kan kita jadi tambah wawasan.." nadanya lega, seperti sudah lama meraba dalam gelap dan baru sekarang lihat cahaya.

Saat itu gw baru ngeh, betapa info sepele dari gw itu berharga banget buat mereka. Mungkin benar, orang ngeyel karena nggak ngerti, nggak ngerti karena awam, awam karena nggak tau, nggak tau karena sulit dikasih tau, sulit dikasih tau karena sulit percaya, sulit percaya karena nggak liat bukti yang meyakinkan. Dan bukti itu adalah sebuah buku.

Pasien tentu nggak harus baca buku kedokteran supaya ngerti apa yang terjadi pada badan mereka. Tapi kita para dokter yang mesti belajar meyakinkan orang atas ilmu kita. Masalahnya, ilmu meyakinkan orang itu nggak termasuk kurikulum di kuliah kedokteran. Itu cuman kurikulum kuliah hukum.

Perhatian! Tips di atas jangan dipake di sembarang tempat. Tidak berlaku untuk pasien kecelakaan, pasien operasi dengan bius total, atau pasien otopsi. Masa' kita mau bawa buku untuk meyakinkan pasien-pasien kayak gitu?