Pasien itu dingin, badannya dingin sekali. Mahasiswa kedokteran di sebelahnya bolak-balik mompa tensimeter air raksa yang kabelnya melilit lengan pasien itu, dan bulir-bulir keringat mulai menggulir di jidatnya.
Gw pura-pura meriksa pasien lain, tapi mata gw melirik koass yang lagi meriksa pasien dingin itu. Gw perhatiin sudah empat atau lima kali dia memompa tensimeter itu, dan gw mulai curiga lengan si pasien bentar lagi bonyok lantaran kebanyakan ditensi dalam lima menit saja.
"Berapa, Dek?" tanya gw mulai nggak sabar.
Koass itu mendongak, menatap gw dengan panik. "90/60, Dok," jawabnya.
Tekanan darahnya normal. Kenapa koass itu ragu-ragu?
Sekarang waktunya dokter sungguhan ambil alih kendali.
"Boleh saya pinjam?" kata gw, lalu mengambil alih tensimeter itu. Gw tensi pula tuh pasien. Betul, tensinya 90/60. Tapi kenapa muka pasien itu pucat sekali?
Gw raih pergelangan tangannya, gw itung nadinya. Bujubune! Kenceng banget! Macam lari maraton aja!
Gw panggil nama pasien itu. Dia masih bangun, tapi nggak mau ngeliat ke gw. Perasaan gw nggak enak. Yakin nih dia baik-baik aja?
Gw noleh ke koass tadi. "Kamu bawa tensi sendiri, Dek?"
Dengan sigap koass itu membuka tas pinggangnya dan ngeluarin tensimeter yang masih dibungkus rapi.
Gw ambil tensimeter milik koass itu, lalu gw lingkarin di pasien itu. Kata gw, "Kamu yang kiri, saya yang kanan!"
Lalu si koass itu ngecek lengan kirinya si pasien pake tensimeternya rumah sakit, sementara gw ngecek lengan satunya pake tensimeter pribadi si koass.
Hasilnya? Menurut tensimeter rumah sakit, tekanan darah 90/60. Sementara menurut tensimeter pribadi milik koass, tekanannya sudah 70/50.
Dagelan yang nggak lucu!
Sontak tuh pasien gw infus yang kenceng dan gw pasangin slang buat pipis. Sebodo amat tensimeternya dodol. Pasien itu nggak nyahut, nadinya super kenceng, dan keluarganya bilang bahwa tuh pasien sempat mimisan pula. Jangan ada pasien syok Dengue di UGD, tidak kalo gw yang lagi tanggung jawab di situ!
***
Untunglah itu nggak lama. Beberapa saat kemudian tuh pasien mulai menghangat lagi, dan dia mulai merespons kalo gw tepuk bahunya. Nadinya nggak kenceng lagi, dan tekanan darahnya mulai masuk rentang yang masuk akal. Keluarganya setuju waktu gw tawarin opname. Gw bilang, kalo demam berdarah yang beginian, jangan dibawa pulang dulu.
Tapi gw nggak bisa melupakan perkara tensimeter dodol itu. Gw nggak abis pikir kenapa tensimeter yang pertama nggak bisa mendeteksi bahwa tekanan darah si pasien sudah jatuh. Apakah tensimeter itu udah nggak sensitif lagi?
Pagi sebelum gw menyudahi tugas jaga malam itu, gw menghampiri mantri yang jaga bareng gw. Dia sudah kerja di rumah sakit itu duluan sebelum gw, jadi pasti dia lebih kenal kondisi ketimbang gw.
"Pak," kata gw sambil pura-pura menyeduh kopi. "Tensimeter di sini sering dikalibrasi, nggak?"
"Sering, Dok," jawabnya. "Kenapa, gituh?"
"Nggak, saya cuman nanya," kata gw sambil lalu. "Kapan terakhir kali dikalibrasinya? Saya pengen liat cara orangnya merawat alat rumah sakit, kapan-kapan."
"Kapan ya terakhir kali dikalibrasi, teh?" Mantri itu mikir-mikir lagi. "Mungkin sekitar tiga-empat tahun lalu, Dok.."
Gw ketawa.
***
Seorang praktisi farmasi pernah kasih tau gw bahwa tiap alat pengukur apapun akan kehilangan kesensitifannya setelah digunakan beberapa lama. Itu sebabnya alat pengukur mesti dikalibrasi secara periodik. Pada bidang medis yang gw gelutin, isu kalibrasi ini penting kalo menyangkut tensimeter, coz tekanan darah adalah besaran yang vital buat menentukan apakah nyawa seseorang dalam keadaan bahaya atau tidak. Gw dinasehatin bahwa tensimeter baiknya dikalibrasi setahun sekali pada tempat servis alat kesehatan terdekat di kota.
Alat pengukur manapun adalah teknologi buatan manusia. Dan yang namanya bikinan manusia pun bisa aja salah. Jadi kita nggak boleh serta-merta percaya begitu aja pada alat-alat canggih apapun yang ada di rumah atau kantor kita.
Direktorat Metrologi berwenang untuk mengurus kalibrasi ini. Nggak cuman alat medis doang yang mestinya dikalibrasi, tapi juga pengukur lain, misalnya timbangan berat, termometer suhu, dan.. alat deteksi kebohongan yang biasa dipake polisi buat memeriksa saksi kasus korupsi.
Jadi, jika suatu alat deteksi sampai gagal memastikan seseorang berbohong, apakah mungkin aja alat itu belum pernah dikalibrasi ulang selama bertahun-tahun?