Apa yang bikin Anda tertarik buat beli sebuah buku?
1. Pengarangnya favorit.
2. Resensi belakangnya menarik.
3. Kata orang-orang, bukunya bagus.
4. Harganya miring.
5. ... (Isi sendiri)
Kalo jawaban gw sih, bukunya bisa dibaca sambil tiduran, hehehe.
(Gw nggak becanda. Sudah beberapa bulan terakhir bacaan gw adalah textbook seberat dua kilo yang lebih pantas jadi bantal.)
Maka, apa yang bikin Anda yang tadinya tertarik, lalu menjadi ogah buat beli sebuah buku?
1. Pengarangnya ternyata saingan Anda waktu SMA.
2. Nggak ada resensinya di cover belakang.
3. Setelah Anda ngintip halaman belakangnya, ternyata ending-nya jelek.
4. Harganya kemahalan.
5. ... (Isi sendiri.)
Nah, jawaban versi gw, gw bisa il-feel liat buku kalo..cover belakangnya kebanyakan testimonial dari nama-nama "besar".
Gw sendiri nggak tau kenapa testi harus dipasang di cover-nya. Memangnya orang bakalan tertarik buat beli buku itu kalo ternyata bukunya pernah dibaca oleh seleb? Dan gw heran kenapa rata-rata testi yang dipasang itu selalu mirip kalimat andalan Pak Tino Sidin, "Bagus, bagus.." yang pada akhirnya selalu bikin gw kecewa. Coz ternyata setelah gw baca bukunya dari awal sampai selesai, gw harus mengakui, gw sudah membuang dua jam percuma untuk membaca sebuah roman picisan.
(Dan itu menjelaskan, Vic, kenapa orang ragu minta kau jadi resensator karangannya, coz takut kau bakal bilang, "Bukumu bikin saya ketiduran lebih cepat daripada waktu saya baca Grey's Anatomy yang ditugaskan dosen saya.")
Jadi inget nih, kira-kira beberapa bulan lalu, seorang kolega gw dengan bangga ngumumin di Facebook-nya bahwa buku yang dia karang, sekarang udah masuk ke meja editor dan sebentar lagi mau di-launch. Nah, dia nawarin di Facebook-nya, siapa yang mau kasih testi atas bukunya itu akan dimuat namanya di buku itu, entah di cover belakang, entah di halaman pertama atau kedua. Siapa yang berminat kasih testi, dia bersedia kirimin naskah mentahnya gratis. Maka berduyun-duyunlah orang minta dikirimin sama kolega gw, termasuk gw (lumayan kan, gw bisa jadi pembaca pertama sebelum bukunya dijual?).
Lalu gw baca naskah mentah itu dengan seksama. Halaman pertama dan kedua, mata gw masih seger. Halaman ketiga, gw mulai menguap. Halaman keempat, gw ninggalin laptop dan mulai cari snack supaya nggak ngantuk.
Gw nggak jadi bikin testi buat kolega gw. Gw memang nggak bisa bikin testi yang bagus kalo barangnya memang nggak bagus. Kalo dia maksa minta testi dari gw buat dipasang di bukunya, bisa-bisa bukunya nggak laku di pasaran.
Kebayang kan kalo di cover belakangnya udah berjejer testi-testi dari profesor, birokrat dinas kesehatan, perawat spesialis, nutrisionis, lalu ujung-ujungnya ada testi kayak gini:
"Buku ini bikin saya harus pasang korek api di mata supaya mata saya tetep melek," Vicky Laurentina - dokter, blogger, ice cream lover
Gini ajalah, nggak usah pake testi di cover belakang, 'napa? Berdayakan sinopsis. Itu lebih membantu ketimbang sejumputan testi berisi puja-puji dari orang-orang yang mengira dirinya seleb. Apakah Anda mau orang beli buku Anda karena tulisan Anda bagus atau karena buku Anda di-testi-in oleh pengarang beken? Nyatanya nggak akan ada orang mau bikin testi yang jelek-jelek. Nanti namanya nggak dimuat di cover belakang, dan batal deh jadi orang beken..
P.S: Foto di atas adalah buku "Suicide" karya Latree Manohara keluaran Gigih Pustaka Mandiri, baru gw baca kemaren. Anda yang senang baca akumulasi cerpen, tapi nggak sudi baca topik berat tapi juga nggak mau yang "cheesy", nggak akan rugi kalo baca ini. Menghibur dan sangat inspiratif. Favorit gw di dalamnya adalah "Antrean Kematian", yang mengingatkan gw kepada Ponari.