Kedengerannya cuman kepeleset satu kata, tapi dampaknya bisa bertahun-tahun. Kisah itu diceritakan setiap tahun ke anak-anak baru, diulang terus seperti kaset rusak.
Sewaktu hari pertama saya masuk SMA, sekitar 13 tahun yang lalu, guru bahasa Indonesia saya cerita begini. Pada jaman dahulu kala, entah tahun berapa, ada seorang guru mau pensiun. Sekolah ngadain acara perpisahan, dan seorang murid didaulat untuk bikin kata sambutan. Murid ini katanya sih paling pintar sesekolahan. Nah, rupanya ada waktu ketika sang murid tahu-tahu mengucapkan kata sambutannya seperti ini, “Kami berharap semoga Anda selalu sehat..”
Redaksional persisnya nggak begitu, tapi yang membuat semua guru bahasa Indonesia terperanjat dan patah hati, adalah sang murid itu memakai kata “Anda” untuk merujuk guru yang pensiun itu.
Sewaktu menceritakannya di kelas, guru saya mewanti-wanti, supaya jangan sampek kami yang murid-muridnya itu menyebut kata “Anda” untuk orang yang lebih tua, berpendidikan lebih tinggi, pokoknya yang lebih-lebih lainnya. Bikin malu aja, nanti yang dicari malah gurunya. Siapa sih yang ngajarin bahasa Indonesia-nya, kok muridnya nggak sopan gitu?
Sebenarnya, karena waktu itu saya hanya murid SMA, saya bisa ngerti kenapa sang murid terdaulat itu bisa keseleo begitu. Dia mungkin nggak sengaja, dan dia mengira bahwa lumrah aja memakai kata “Anda” untuk sembarang orang. Saya pernah baca bahwa menggunakan kata “Anda” itu menandakan bahwa kita menganggap lawan bicara kita itu setara dengan kita. Mungkin guru-guru itu nggak terima di-“Anda”-“Anda”-kan oleh seorang anak yang bahkan belum lulus SMA.
Waktu itu kan saya masih ingusan, jadi saya jarang memakai kata “Anda” ke siapapun. Saya biasa memakai kata “elu”, “kamu”, “Ibu”, “Bapak”, “Kakak” dan macam-macam variasinya tergantung situasinya, tapi tidak pernah pakai kata “Anda”. Saya baru menggunakan kata “Anda” justru sewaktu saya mulai aktif ngeblog, terutama untuk menyapa penonton blog saya, coz saya menjumpai bahwa ternyata nggak semua penonton blog saya itu sepantaran dengan saya, sedangkan penggunaan kata “Ibu”/”Bapak” kadang-kadang terasa terlalu feodal.
Panggilan “Anda” ternyata harus sesuai dengan situasi yang ada. Ke keluarga nggak mungkin ngomong “Anda”. Saya pasti aneh kalau dengar seorang ayah ngomong ke anaknya, “Anda nanti malem pijitin saya ya? Pake sikut.”
Ke kekasih juga nggak mungkin ngomong “Anda”. Mosok kita mau bilang gini ke pacar, “Sayang, nanti malem Anda bawain saya kembang yang warna jingga ya?”
Lalu, kalau kita nggak sopan ke orang lain, biasanya itu juga beruntun ke perlakuan balik yang nggak sopan ke kita juga. Misalnya kalau kita nyebut orang lain yang lebih tua dengan sebutan “Anda”, bisa jadi umpan baliknya adalah orang tua itu jadi meremehkan kita lantaran kita dianggapnya nggak sopan. Untuk orang yang lebih tua, jauh lebih aman nyebut “Bapak”/”Ibu”/”Kakak”. Varian “Mas”, “Mbak”, “Cici”, “Bung”, dan varian-varian kakak lainnya masih bisa diterima.
Kadang-kadang dalam menulis di internet, kita sering nggak tahu pangsa pembaca kita itu sepantaran, lebih tua atau lebih muda dari kita. Dalam hal ini boleh-boleh aja kita nyebut mengumbar kata “Anda”, coz situasinya di sini kita nggak cukup akrab untuk nyebut kata “kamu”. Internet nggak kenal situasi feodal, jadi lumayan jarang kita nemu netter yang nyebut “Bapak”/”Ibu”. Tapi kalau kita kepingin berkomunikasi dengan orang lain yang spesifik, sebaiknya kita perkirakan dulu apakah dia lebih tua atau lebih muda supaya kita nggak sembarangan pakai kata “Anda”. Misalnya kita kepingin komentar di blog seseorang, yang kita tahu dari profilnya atau cara nulisnya bahwa dia lebih senior dari kita, jangan sekali-kali nyebut dia “Anda”, kalau kita nggak kepingin disepelekan lantaran dianggap komentator nggak sopan. Menyebut yang lebih tua dengan kata “kamu” atau “elu” kepada orang yang lebih tua hanya relevan kalau dia memang sudah akrab sama kita. Kalau nggak merasa akrab, jangan sok akrab deh..
Saya sendiri jarang banget pakai kata “Anda” kalau mau komentar di blog adek-adek yang lebih muda, kecuali dalam konteks memuji (“Blog Anda bagus sekali. Saya suka banget tulisan Anda. ” ). Saya malah lebih sering memakainya untuk urusan menyindir. (“Seumur-umur baru kali ini saya nemu tulisan yang rasis seperti tulisan Anda.”)
Memang bergaul adalah proses belajar yang nggak pernah selesai. Baik itu di dunia nyata maupun di dunia maya. Dan kita memang mesti belajar menempatkan diri di mata orang lain, kalau kita memang kepingin reputasi kita nampak bagus di mata mereka. Termasuk, dalam urusan bagaimana kita memperlakukan orang lain sebagai lawan bicara.