Thursday, February 18, 2010

Para Bonyok di Jejaring Sosial


"Mati gw. Bokap gw baru ikutan Twitter dan sekarang nanya username gw apa. Should I add him??"

Jeritan panik teman gw di status Twitter itu bikin gw ngakak, beberapa minggu yang lalu. Gw tahu maksud dia, Selena (bukan nama sungguhan, seumuran sama gw), takut bokapnya denger setiap twit-annya yang nggak berwibawa itu.

Semenjak marak kasus cewek a-be-geh yang kabur dari rumah lantaran mau kopi darat sama temen yang baru dikenal di Facebook, kebanyakan orang malah bersuara sumbang, "Salah sendiri, kenapa orangtuanya nggak fesbukan?" Para ahli sibuk mengkampanyekan bahwa orang tua itu mestinya menjadi warga jaringan sosial bukan cuman sekedar jadi "internet migrant", tapi harus sekalian jadi "internet inhabitant". Artinya menjadi warga asli dari dunia maya, beraktivitas normal di dunia maya, dan juga yang penting, berpikir a la dunia maya.

Yang terjadi sekarang, para orang tua umumnya ikut jejaring sosial karena latah, lantaran sungkan dibilang gaptek. Padahal, bonyok yang melek teknologi nggak selalu asyik. Dan harus disyukuri bahwa kadang-kadang bonyok yang gaptek justru lebih aman.

Selena senang curhat di Twitter. Segala hal yang ada di kepalanya dia curhatin: urusan kantor, urusan cem-ceman, sampai urusan pilkada(l). Teman-teman ngerumpinya sesama tweepsies adalah makhluk-makhluk yang isi kepalanya hampir sama, interpretasinya sama, dan sama-sama doyan ngerumpi dengan nyelekit. Dan sekarang, bokapnya mau follow dia, dan apapun yang Selena twit-kan bisa gampang dipantau oleh bokapnya sendiri.

Banyak cerita unik yang bisa kita kupingin kalau mbaca rumpian orang di status-status mereka. Bininya si boss yang semlohay, teman tenis yang curang melulu, sampai Pak RT yang suka ngabisin kue sendirian kalau lagi ngeronda bareng.

Tentu saja ada resiko curhatan-curhatan yang nggak enak itu dibaca oleh orang-orang yang nggak berkenan. Memang langkah antisipasinya, jangan biarkan orang-orang itu nge-add kita di jejaring sosial. Atau tetap di-add, tapi kita nggak usah curhat.

Masalahnya, Sodara-sodara, curhat itu perlu buat melepas stres. Dan nggak afdol kalau curhat di status update itu nggak sampai lampias. Sekarang gimana mau curhat sampai puas, kalau ada orang yang tidak berkenan dengan curhatan kita di status?

Maka gw bisa ngerti kenapa Selena begitu panik di-follow bokapnya sendiri di Twitter. Selama ini Selena begitu puas curhat di status Twitter tentang stresnya dan ada kemungkinan bokapnya juga ikut berkontribusi memperparah timbulnya stres itu. Tapi mosok dia mau nolak bokapnya dan memblokir bokapnya dari daftar follower?

Persoalan gap yang cukup besar tentang cara berpikir antara orang tua dan anak akan semakin pelik kalau sudah merambah ke dunia maya. Coba tengok bedanya perilaku kedua kelompok itu di jejaring sosial. Ada perbedaan ekspresi, cara bicara, cara berpikir, cara bersikap, dan sialnya juga ada perbedaan kadar selera humor. Semua perbedaan itu, bisa bikin problem hubungan antara anak dan orang tua di dunia maya.

Lalu gw pikir, berkaitan dengan Selena, supaya anak dan orang tua nggak sampai stres gara-gara salah satu pihak tidak bisa curhat di status dengan puas, mungkin solusinya si anak kudu bikin dua account sekaligus. Satu account buat di-add bonyoknya, di mana dia bisa mengisi statusnya dengan citra yang jaim seperti anak baik-baik. Lalu satu account lagi buat di-add teman-teman ngerumpi untuk dipakai enak-enak curhat. Betul-betul solusi yang ribet.

Kecuali kalau kita mau mikir solusi yang lebih cerdas: Jangan pernah cepat bereaksi terhadap status update orang lain. Karena setiap status di jejaring sosial hanyalah ledakan perasaan sesaat. Persoalannya, apakah kadar kecerdasan emosional kita cukup untuk itu?

Untung bokap gw belum nge-twit kayak bokapnya Selena. Bokap gw baru fesbukan doang. Dan gw nggak niat ngajarin bokap gw nge-twit.

Menjadi melek teknologi bukan cuman sekedar berupa latah mengikuti jejaring sosial, tapi juga harus bijaksana menyikapi setiap aspirasi yang disampaikan di dunia maya.