Friday, February 26, 2010

Toilet Tidak Jujur

Akhirnya gw mutusin buat pipis juga. (Ck ck ck..gw terheran-heran bagaimana dari yang namanya kebelet pipis bisa jadi ide buat tulisan sampai dua biji! Kenapa ide menulis selalu datang tiap kali lagi kebelet?)

Lalu gw lihat tulisan ini dan tercengang.


Baiklah, mereka salah menerjemahkan. “Pergunakanlah saat kereta berjalan”, seharusnya hasil terjemahannya adalah “Please use when the train is going.”

Karena, “Please use only the train is running” artinya hanya dipakai kalau keretanya lari.


Gw bayangin, kalau penumpangnya kaum kulit putih alias bangsa Kaukasus, mereka harus nunggu keretanya lari dulu, baru mereka bisa pipis. Tapi bangsa Indonesia nggak bisa disalahkan kalau pakai toiletnya waktu kereta lagi jalan pelan di stasiun, misalnya waktu mau nyambung gerbong. Bukankah tulisannya “pergunakanlah saat kereta berjalan”?


Lalu gw masuk ke kamar toilet itu, dan nyari-nyari lobang toiletnya. Wijna, minggu lalu bilang di blog ini bahwa hasil buang hajat di toilet kereta itu langsung jatuh ke rel, bukan “ditabung” dulu di container atau entah apa. Ternyata dia benar. Lobang toilet yang lagi gw potret ini, jelas-jelas jatuhnya ke tanah.


Pantesan bangsa ini susah banget dibikin jujur kalau berbuat salah. Orang-orang kita senang lempar batu sembunyi tangan, kalau bikin salah suka nggak mau ngaku. Dan toilet ini sudah mencerminkan itu. Orang tinggal lempar produk hajatannya di atas rel, lalu meninggalkannya lari bersama kereta. Lempar tokai, sembunyi bokong.

Ini masih mendingan kalau keretanya lewat di kawasan persawahan. Hasil tokai atau pipis bisa dijadiin zat hara yang bikin subur tanah. Tapi gimana kalau keretanya lewat di kawasan perkotaan? Apalagi kalau relnya melintas di tengah jalan raya. Gimana perasaan kita kalau mobil kita mesti ngantre di depan pintu lintasan kereta api, nungguin keretanya lewat, lalu ternyata di dalam kereta itu ada orang lagi boker, dan hasil bokerannya jatuh ke rel, dan setelah keretanya selesai sehingga mobil kita bisa lewat, ternyata di depan kita ada tokai bekas bokeran penumpang kereta? ^^

Atau mungkin harus dibikin pengumuman dulu, “Perhatian, perhatian! Sebentar lagi kita akan memasuki jalan raya di kota. Penumpang jangan boker dulu..!”

Gini nih akibatnya kalau pembangunan transportasi kita nggak banyak melibatkan faham religius. Katanya ajaran agama gw, mbok ya habis buang hajat itu dibersihkan supaya produk hajat itu tidak merugikan orang lain. Ya termasuk hasil buang hajat di toilet itu dibuang di container yang benar, jangan sampai dibuang di rel. Bukankah kebersihan itu sebagian dari iman? Pertanyaannya sekarang, apakah negara kita punya cukup anggaran buat membangun container toilet, supaya penumpang kereta tidak buang hajat sembarangan?