Sunday, February 28, 2010

Ditikung Kolega Sendiri

Setiap orang mungkin pernah kemalingan pacar. Tapi tidak banyak yang mendapati malingnya mau ngajak salaman setelah memalingi pacarnya.

Semalam, dalam keadaan flu berat dan insomnia, gw nontonin bokap gw dan adek gw nonton Chelsea vs Manchester City di tivi. Bokap gw ngakak waktu John Terry ngajak Wayne Bridge salaman, dan ternyata Bridge nggak nyalamin balik, malah langsung melengos seolah-olah Terry nggak ada.

Gw mencoba mengira-ngira alasan kenapa Bridge nggak mau salaman sama Terry:

1. Mungkin tangannya Terry nggak ada duitnya, sedangkan Bridge nggak mau salaman kalau bukan salam tempel.
2. Mungkin Bridge habis dari toilet, terus belum sempat cuci tangan, jadi sungkan kalau mau salaman.

*Gw bukan pemerhati sepakbola dari sisi olahraganya, gw lebih tertarik pada sisi infotainment-nya.*

Gw harus googling dulu untuk memastikan bahwa hipotesa-hipotesa sesat gw di atas itu benar. Ternyata, gw salah besar.

Jadi rangkuman opera sabunnya begini:
John Terry adalah kaptennya Chelsea, nyambi juga jadi kaptennya tim nasional Inggris. Wayne Bridge adalah karyawannya City.

Terry sudah menikah dengan seorang mbak-mbak bernama Toni, dan disinyalir Bridge turut menghadiri syukuran pernikahan itu dan memberikan doa restu bersama pacarnya yang bernama Vanessa Perrocel.

Dari hasil pernikahannya, Terry dapet anak kembar. Sementara dari hasil kumpul kebonya, Bridge punya satu anak laki-laki.

Masalah datang ketika kedapatan bahwa Terry ternyata selingkuh sama Jeng Vanessa. Bridge ngamuk.

Bridge nggak mau masuk timnas Inggris buat Piala Dunia di Cape Town nanti coz nggak sanggup pura-pura kompakan sama Terry yang jadi kaptennya.

Semua orang juga tahu bahwa kapten adalah pemimpin, dan yang lain-lainnya adalah anak buah. Gimana perasaan kita kalau pemimpin kita adalah orang yang malingin pacar kita sendiri?

Tadi pagi gw mbaca di koran bahwa menjadi korban perselingkuhan adalah stres yang sangat besar. Korban sibuk bertanya-tanya: Kenapa kekasih selingkuh? Kenapa selingkuhnya harus sama teman gw sendiri? Kenapa teman gw malingin kekasih gw? Bagaimana sekarang gw mesti menghadapi orang yang malingin kekasih gw?

Siyalnya, nggak setiap orang punya sistem pertahanan diri yang kuat untuk digoncang tsunami macam begitu. Ada beberapa mekanisme sikap yang bisa diambil Bridge untuk menghadapi maling pacarnya:

1. Terima. Memisahkan sosok Terry antara kolega sepakbola dan maling. Kita salaman di lapangan, tapi nanti pas bulan Desember nggak usah kirim kartu Natal.

2. Lawan.
Habisin itu si Terry. Kempesin ban sepedanya. Kirimin klepon yang udah basi. Umpetin bajunya waktu mandi di Sungai Thames. Upload fotonya Terry di Facebook waktu lagi ngelem aibon. Pas di lapangan, hajar idungnya si Terry.

3. Lupakan.
Cari pacar baru dan cari teman baru. Prinsipnya orang Jawa, gak ono koen gak patek'en. Biarpun nggak ada kamu, gw nggak bakalan kena kusta kok.

4. Menghindar.
Sebisa mungkin, jangan ketemu Terry di mana pun. Jangan di timnas, jangan di Liga Inggris. Jangan salaman. Prinsip ini seperti lagunya Boyz II Men yang dulu kolaborasi sama Uncle Sam, "I don't ever wanna see you again. Tell me, why did it have to be my best friend?"

Dengan berpegang pada ringkasan opera sabun di atas, gw nyimpulin bahwa Bridge nggak bisa ngambil mekanisme pertahanan diri nomer 1, 2, atau 3. Alasannya:

1. Tidak bisa menerima. Bridge nggak mau munafik, pura-pura temenan di lapangan tapi benci di luar. Itu namanya kebohongan publik, apalagi Bridge dan Terry sama-sama jagoannya rakyat Inggris. Sebaik-baiknya idola adalah idola yang nggak bo'ong.

2. Tidak bisa melawan. Soalnya kalau ketahuan FA, nanti Bridge bisa diskors. Lagipula implementasinya susah, mengingat Terry jarang makan klepon dan nggak pernah mandi di Sungai Thames.

3. Melupakan lebih gampang. Masalahnya, Terry itu nikung dengan pacarnya yang udah kasih dia anak. Kebayang kalau mau lihat si bayi, terus ingat emaknya yang nikung, hih..pengen ngelemparin tombak deh!

Dengan demikian, paling gampang ya bereaksi seperti nomer 4, menghindar. Praktis, nggak kuatir kena skors, nggak melibatkan tombak, nggak usah bohong, dan nggak perlu repot beli klepon.

Bagaimana kalau Anda yang jadi Wayne Bridge? Gimana kalau Anda diajak salaman oleh kolega yang udah nikung sama pacar Anda sendiri? Terima, atau kemplang?

Saturday, February 27, 2010

Dicari, Belly-phone


Anda hamil? Carilah belly-phone. Anda belum hamil? Cari juga belly-phone. Apa sebab? Soalnya janinnya akan lebih pinter kalau didengerin musik pakai belly-phone.

Kalau kita biasa dengerin musik via earphone, alias plug atau empuk-empukan yang disumpal ke kuping, maka kali ini gw akan memperkenalkan belly-phone, yaitu empuk-empukan yang ditempelin di perut. Bisa dipakai untuk ibu hamil yang mau memperdengarkan musik kepada bayinya.

Ini hasil oleh-oleh gw setelah dengar kuliah Dr dr Hermanto Tri Joewono, SpOG(K) di Surabaya, Jumat minggu lalu. (Maaf, baru gw reportase sekarang, coz kemaren-kemaren sibuk ngoceh perkara perjalanan kereta, hehehe)

Kenapa harus diperdengarkan musik?
Jadi gini, untuk menjadi manusia yang pintar, bayi perlu diberikan rangsangan-rangsangan berupa rangsangan sentuh, lihat, dan dengar. Dan rangsangan ini bukan cuman diberikan semenjak lahir, tapi akan lebih baik kalau diberikan semenjak masih dalam kandungan alias masih janin. Karena saraf-saraf otak janin sudah tumbuh semenjak masih dalam rahim ibunya. Jadi makin sering dirangsang, maka janin akan semakin pintar.

Rangsangan yang paling sederhana yang bisa diberikan adalah berupa rangsangan suara. Dan kali ini yang gw tulis dari hasil dengerin kuliah ini adalah pengaruh mendengarkan Mozart buat janin dalam kandungan.

Kenapa Mozart? Hehehe..banyak penelitian yang bilang bahwa musiknya Mozart ternyata bagus banget buat merangsang sel-sel otak bayi. Jika komposisi karya Mozart dimainkan pakai biola, gelombang musik yang dihasilkan ternyata sejalan dengan gelombang di dalam otak janin.

Kapan waktu yang tepat buat mendengarkan belly-phone ini? Harap diinget bahwa tidak semua waktu kehamilan pas buat diperdengarkan musik. Sebaiknya janin diperdengarkan musik mulai kehamilan usia 20 minggu. Soalnya, telinga janin baru bisa berfungsi baik setelah kehamilan usia 20 minggu, hehehe..

Paling baik dimainkan Mozart-nya pas malem-malem. Karena resonansi suara yang paling bagus diterima janin ya pas malem, selain itu juga karena malem memang saat yang paling tenang.

Gimana kalo emaknya nggak doyan dengerin Mozart, tapi senengnya dengerin Mbah Surip? Ya nggak masalah, coz yang memang butuh dengerin Mozart ya janinnya, bukan emaknya. Jadi plug yang nyambung ke pemutar musik ditempelin di perut emaknya, bukan disumbatin ke telinga emaknya. Maka yang ngedengerin Mozart adalah janinnya, sementara emaknya boleh suka-suka dengerin yang lain, yihaa.. Berapa lama? Butuh waktunya 60 menit. Oh ya, dengerin musiknya sesuai urutan lagu lho, jangan diloncat-loncat. :p

Masalah kecil muncul: Di mana beli belly-phone? Hahaa..gw juga nggak tahu. Well, kalau gw sih pakai cara primitif aja: Ear plug yang biasa gw sumbatin di kuping, tempel aja di perut pakai selotip. :p Alah, gw belum hamil ini, nanti aja deh mikirnya, mudah-mudahan pas gw hamil nanti, udah ada alat belly-phone di toko..

Kenapa kabel musiknya kudu ditempelin di perut, bukan didengerin aja pakai loudspeaker? Well, kalau didengerin pakai loudspeaker, akan timbul atenuasi pada suara yang dihasilkan, jadi gelombang suara tidak akan sampai kedengeran oleh janin dengan kualitas yang kita mau.

Sayangnya gw sendiri bukan penggemar Mozart, jadi gw nggak ngeh lagu mana aja yang jadi karyanya Mozart. (Gw taunya cuman Bryan Adams, hahaha..) Tapi yang harus digarisbawahi di sini, sebaiknya lagu yang diperdengarkan adalah lagu dalam nada mayor, bukan yang minor. Ya iyalah, kalau janinnya denger lagu minor nanti jadi pribadi yang tukang sedih dong.. :)

Oke, Ladies, sudah siap nyari belly-phone?

Friday, February 26, 2010

Toilet Tidak Jujur

Akhirnya gw mutusin buat pipis juga. (Ck ck ck..gw terheran-heran bagaimana dari yang namanya kebelet pipis bisa jadi ide buat tulisan sampai dua biji! Kenapa ide menulis selalu datang tiap kali lagi kebelet?)

Lalu gw lihat tulisan ini dan tercengang.


Baiklah, mereka salah menerjemahkan. “Pergunakanlah saat kereta berjalan”, seharusnya hasil terjemahannya adalah “Please use when the train is going.”

Karena, “Please use only the train is running” artinya hanya dipakai kalau keretanya lari.


Gw bayangin, kalau penumpangnya kaum kulit putih alias bangsa Kaukasus, mereka harus nunggu keretanya lari dulu, baru mereka bisa pipis. Tapi bangsa Indonesia nggak bisa disalahkan kalau pakai toiletnya waktu kereta lagi jalan pelan di stasiun, misalnya waktu mau nyambung gerbong. Bukankah tulisannya “pergunakanlah saat kereta berjalan”?


Lalu gw masuk ke kamar toilet itu, dan nyari-nyari lobang toiletnya. Wijna, minggu lalu bilang di blog ini bahwa hasil buang hajat di toilet kereta itu langsung jatuh ke rel, bukan “ditabung” dulu di container atau entah apa. Ternyata dia benar. Lobang toilet yang lagi gw potret ini, jelas-jelas jatuhnya ke tanah.


Pantesan bangsa ini susah banget dibikin jujur kalau berbuat salah. Orang-orang kita senang lempar batu sembunyi tangan, kalau bikin salah suka nggak mau ngaku. Dan toilet ini sudah mencerminkan itu. Orang tinggal lempar produk hajatannya di atas rel, lalu meninggalkannya lari bersama kereta. Lempar tokai, sembunyi bokong.

Ini masih mendingan kalau keretanya lewat di kawasan persawahan. Hasil tokai atau pipis bisa dijadiin zat hara yang bikin subur tanah. Tapi gimana kalau keretanya lewat di kawasan perkotaan? Apalagi kalau relnya melintas di tengah jalan raya. Gimana perasaan kita kalau mobil kita mesti ngantre di depan pintu lintasan kereta api, nungguin keretanya lewat, lalu ternyata di dalam kereta itu ada orang lagi boker, dan hasil bokerannya jatuh ke rel, dan setelah keretanya selesai sehingga mobil kita bisa lewat, ternyata di depan kita ada tokai bekas bokeran penumpang kereta? ^^

Atau mungkin harus dibikin pengumuman dulu, “Perhatian, perhatian! Sebentar lagi kita akan memasuki jalan raya di kota. Penumpang jangan boker dulu..!”

Gini nih akibatnya kalau pembangunan transportasi kita nggak banyak melibatkan faham religius. Katanya ajaran agama gw, mbok ya habis buang hajat itu dibersihkan supaya produk hajat itu tidak merugikan orang lain. Ya termasuk hasil buang hajat di toilet itu dibuang di container yang benar, jangan sampai dibuang di rel. Bukankah kebersihan itu sebagian dari iman? Pertanyaannya sekarang, apakah negara kita punya cukup anggaran buat membangun container toilet, supaya penumpang kereta tidak buang hajat sembarangan?

Thursday, February 25, 2010

Mengejar Pesona, Taruhan Nyawa


Pagi itu, gw mutusin buat mengalah kepada kandung kemih gw yang udah gw empet semalaman lantaran gw nggak mau pipis di toiletnya kereta. Sadar bahwa gw nggak mau menginvestasikan hidup gw dengan percuma hanya untuk sakit batu saluran kemih, akhirnya gw ambil tas gw dan gw berjalan terhuyung-huyung ke toilet di belakang gerbong. Itu hampir jam enam dan gw mengasumsi kereta lagi jalan antara Tasikmalaya dan Bandung.

Gang belakang gerbong adalah tempat yang strategis untuk melakukan apa aja. Pada perjalanan dengan kereta yang lalu, gw lihat gang itu adalah tempat paling strategis buat dipakai klepas-klepus untuk penumpang kereta eksekutif yang dilarang ngebul di dalam gerbong. Tapi pagi itu, gw lihat laki-laki ini berdiri di pinggir pintu sambil keasyikan motret sawah-sawah. Pintunya terbuka lebar-lebar.

Gw nggak tahu apakah kondektur tahu bahwa ada pintu kereta yang nggak dikunci. Jika kereta ini berhenti di manaa gitu, siapapun bisa masuk: pedagang kacang tanah, penumpang liar, atau bahkan kambing. Tapi gw kuatir kalau ada orang celaka lantaran jatuh dari pintu kereta itu, dia bisa aja jatuh di tengah-tengah sengkedan sawah dan saat dia bisa berteriak minta tolong, kereta sudah lari sejauh dua kilo.

Namun yang gw lihat di gang ini, laki-laki ini nampak sama sekali tidak takut jatuh.

Beberapa bulan terakhir ini gw melakukan riset kecil-kecilan terhadap hobi fotografi. Gw iseng meniru para pelakunya, berpikir seperti mereka, macam begitulah. Gw melihat bagaimana hobi ini bisa bikin orang kecanduan pada pelakunya; mereka bela-belain jungkir balik demi mendapatkan foto yang bagus, kadang-kadang sampai taruhannya adalah keselamatan diri mereka sendiri. Dan di gang ini, gw melihat contohnya yang nyata.

Apa yang kau cari dari gambar sawah-sawah itu, Bung? Apa kau memang terobsesi dengan pemandangan itu, atau kau hanya menikmati sensasinya memotret dari pintu kereta yang terbuka lebar-lebar? Kalau kau jatuh, apa yang mau kau potret?

Gw harus bilang fotografi itu hobi yang seksi. Pelakunya bisa membingkai sebuah kejadian biasa menjadi hal yang sama sekali nggak biasa. Itu perlu naluri yang tajam, mata yang teliti, kesabaran yang tinggi, dan selera yang bagus. Gw nggak heran sekarang sekolah-sekolah fotografi menjamur di Jawa. Mungkin cuman satu mata kuliah aja yang perlu ditambah di sekolah itu: pelajaran keselamatan jiwa.

Dan melihat fotografer ini, mendadak gw jadi kangen sama my hunk. Dia mencintai kamera, melebihi apapun di dunia ini. Kadang-kadang gw cemburu coz tangannya nyantol ke kameranya lebih lama ketimbang nyantol ke gw.

Siyalan, gw sampai lupa bahwa gw mau pipis.

Tuesday, February 23, 2010

Gojlokan buat Si Cantik

Gw selalu bermimpi, punya foto di mana gw keluar dari sela-sela asap. Bukan, bukan maksudnya gw punya cita-cita terpendam buat jadi pemadam kebakaran. Bukan juga karena waktu kecil gw terlalu sering nonton pertunjukan Nicky Astria atau Ita Purnamasari di Aneka Ria Safari. Tapi gw pikir, keren aja kalau gw berpose dengan latar belakang asap. Dan dua hari lalu, impian gw akhirnya terwujud. Meskipun dengan setting yang sama sekali nggak pernah gw idamkan.

Yang tidak pernah terpikir oleh gw itu, bahwa kalau mau pose dengan latar belakang asap itu adalah, jangan sekali-kali pakai parfum. Percuma, wanginya langsung ilang.

Ini semua gara-gara gw jalan-jalan ke Surabaya beberapa hari yang lalu. My hunk ngajak gw ngincipin sate kelapa di kawasan Ondomohen, mumpung gw lagi ada di sana. Tante gw bilang, bo’ong tuh, nggak ada yang namanya sate kelapa, adanya juga sate lapa. Soalnya yang jual itu orang Madura, jadi mereka nggak bisa ngomong “kelapa”, bisanya ngomong “lapa”.

Jadi gw bela-belain bangun pagi, mandi pakai sabun wangi, semprot-semprot pakai minyak harum dan dandan yang cantik dengan semangat ‘45 gw bakalan sarapan sama my hunk. Tiba di venue, alangkah bengongnya gw liat ternyata yang dimaksud counter sate kelapa itu posisinya di pinggir trotoar. Orang-orang ramai ngantre di situ berdesak-desakan, bergerilya melawan kepulan asap yang membubung dari pembakaran sate. Nggak ada nomer antrean, jadi setiap orang berteriak-teriak dalam bahasa Madura minta pesenannya didulukan. Penjualnya balas teriak-teriak dalam bahasa Madura minta pembelinya bersabar. Gw bingung caranya mau mesen gimana, lha gw sudah lupa caranya ngomong Madura.

Lalu my hunk bilang sama gw, “Biasanya yang mesen mamaku. Aku nunggu di mobil.”

Gw menatapnya nanar. Yupz, inilah pelajaran penting dalam setiap relationship: Pria mengompori wanita mereka untuk belanja makan, tapi mereka tidak mau nyerondol antrean dan mereka merayu wanita mereka untuk melakukan itu.

Tempat itu gila banget. Antrean gila-gilaan, dengan kemampuan bahasa Madura gw yang mengharukan, bisa-bisa baru nanti siang pesenannya kita diladenin, dan takutnya satenya udah abis. My hunk nawarin kita berdua sarapan di tempat lain aja, tapi gw tolak coz gw udah kadung sampai sini jadi gw mesti nyobain.

Akhinya jadilah gw ikutan menggojlok diri sendiri dalam kepulan asap di situ, dan mencoba berteriak ke penjualnya dalam bahasa Madura yang patah-patah, pesan sate kelapa 20 tusuk. Bussoo deh..gw udah dandan cantik-cantik ujung-ujungnya malah terperangkap di antara antrean sate kelapa. Badan gw bau asap, mata gw perih sampai keluar air mata. My hunk? Oh, dia berdiri di pinggir jalan dan malah keasikan motret gadisnya berjuang beli sate.

Saat itulah tiba-tiba gw jadi kangen nyokap gw. Biasanya nyokap gw yang bertugas mblusuk-mblusuk ke antrean penuh asap gini, lalu mesan empat porsi buat gw, adek, dan bokap gw. Nyokap gw juga fasih ngomong Madura, soalnya nyokap gw kan orang Jawa Timur tulen dan nyokap gw bisa mendesak penjual manapun buat minta diduluin. Sementara gw dulu kan masih kecil, nggak pernah mau ikutan nemenin nyokap dan maunya enak-enak tidur-tiduran di mobil. Hwaa..coba kalau dulu gw ikutan sama nyokap, pasti sekarang gw tahu caranya nyerobot antrean beli sate dan ngeyel dalam bahasa Madura!

Untunglah akhirnya gw dapet sate kelapanya. Gw keluar dari antrean asap itu dengan tampang berantakan, bubar sudah harum dari badan gw. Kontras, gw menghampiri my hunk yang masih segar dan wangi.

Sahut gw, “Aku sampek nangis, Mas.” Dia malah ketawa terbahak-bahak.

Bagus, bagus, batin gw. Jadi ini sebabnya kenapa para istri selalu nampak kucel setiap kali baru pulang dari pasar. Karena mereka mblusuk-mblusuk nggak karuan demi belanja makanan buat suami mereka, sementara suaminya cukup jadi seksi makan. Oh ya, sekaligus seksi mbayarin dan seksi nyetirin.

Satenya enak, hehehe. Tadinya gw kirain itu sate isinya kelapa, tapi ternyata daging sungguhan yang dibumbuin kelapa. Bisa juga pesen sate yang ada lemaknya atau ada sumsumnya. Sate 20 tusuk plus nasi yang dibumbuin kelapa juga, dibanderol Rp 34.000,-.

Lain kali, gw mau ke situ lagi. Dan gw mau bela-belain belajar bahasa Madura dulu sebelum ke sana, biar gw bisa nyerobot antrean dengan leluasa.

My hunk dan gw sendiri yang menjepret fotonya.

Friday, February 19, 2010

Pesawat Pujaan Orang


Gw suka banget naik kereta api, tapi gw nggak pernah mufakat sama WC-nya. Gw heran, kenapa sih WC di kereta api itu selalu bau apek? Apakah tukang bersih-bersih WC-nya nggak pernah sempat nyikat WC lantaran kereta berhenti di tiap stasiun cuman lima menit? Memangnya harus berhenti berapa lama di tiap stasiun supaya petugasnya punya waktu buat nyikat WC?

Gw pikir mungkin para direktur kereta api nggak punya anggaran cukup buat beli sikat WC dan pengharum toilet. Baiklah, gw sangat maklum. Tapi kayaknya yang punya kereta api terus-menerus memprovokasi para penumpang untuk pipis, terbukti dengan adanya para pramugari menawari penumpangnya kopi dan teh. Mereka seolah lupa, kalau penumpangnya minum kopi atau teh, nanti orangnya terangsang buat pipis. Kalau mau pipis, penumpangnya mesti ke WC. Padahal WC-nya bau apek, akibatnya penumpangnya ngomel. Jadi, para direktur kereta api yang terhormat, kalau nggak mau penumpangnya ngomelin WC, mbok ya pramugarinya jangan disuruh nawarin kopi atau teh.

Maka jadilah pas gw naik kereta api kemaren, penumpangnya bermuram durja gara-gara ngempet pipis sepanjang jalan. Untuk menghibur penumpangnya supaya tidak mellow, maka di gerbongnya dipasangin tivi. Gw perhatikan sepanjang jalan tuh tivi muterin itu-itu lagi: iklan kereta api, lagu-lagu sendu, dan film lepas.

Gw sendiri nggak terlalu ngeh dengan apa yang diputar di layar 14 inci itu, coz posisi duduk gw tujuh deret dari tivi itu. Udah tivinya kekecilan buat gw, filmnya bisu pula. Padahal kalau dipikir-pikir, ini filmnya juga nggak jadul-jadul amat. Mungkin paling lama ya keluaran tahun '90-an. Helloo..ada yang tahu di mana remote tv-nya?

Gw pikir, siapa juga sih penumpang yang mau nonton film bisu? Jadi gw neliti muka-muka penumpang yang di kereta. Ada yang lagi tidur, ada yang lagi baca koran, dan ada juga yang lagi nulis blog (yang ini sih gw!). Oke, ada segelintir yang lagi ngeliatin tivi, tapi matanya melayang ke mana-mana. Kesimpulan gw, tak ada penumpang yang sungguh-sungguh memperhatikan film di tivi itu.

Gw jadi kesiyan sama kereta api yang udah repot-repot nyediain tivi tapi nggak ditonton. Padahal kan buat nyediain tivi itu mereka udah capek-capek mbayar listrik dan nyewa DVD di tukang rental, huhuhu..

Ini mungkin sama kayak kita di rumah. Kebiasaan jelek kalau ada di rumah, pasti tivi dinyalain. Padahal belum tentu juga tivinya ditonton. Kadang-kadang tivi ditinggal nyala dengan suara banter, sementara kita masak di dapur. Kadang-kadang bukan kita yang nonton tivi, tapi tivi yang nontonin kita, soalnya kita ketiduran. Paman gw punya kebiasaan duduk di ruang tengah, tivi nyala, tapi suaranya dibikin bisu, sementara dos-q muterin mp3 The Beatles dari teater rumahnya.

Kenapa kereta api ngotot masang tivi padahal penumpangnya nggak nonton? Mungkin karena sifat dasar manusia, senang lihat gambar bergerak dan dengar suara berisik. Meskipun dia nggak terlalu ngeh dengan informasi yang disampaikan oleh gambar dan suara itu.

Bukan apa-apa sih. Tapi gw pernah hidup setahun di dusun yang doyan mati lampu, jadi gw sadar bahwa mestinya kita nggak boleh buang-buang listrik. Sampai sekarang gw masih mentung kepala gw sendiri kalau gw menangkap basah diri gw ketiduran di depan tivi yang menyala.

Tips buat kereta api, kalau memang niat menghibur penumpang dengan tivi, tanpa buang listrik:

1. Sebelum keretanya jalan, tanya dulu ke seluruh penumpang, "Bapak-bapak, Ibu-ibu, ayoo siapa yang mau nonton tivi, acungkan tangaan!!"

2. Nggak usah nyalain tivi di bagian belakang gerbong. Sudah tahu penumpangnya duduk ngadep depan semua, ngapain juga nyalain tivi di bagian belakang?

3. Kalau memang niatnya mau muter film bisu, pilihlah film yang memang nggak ada suaranya, misalnya Mr Bean atau Charlie Chaplin. Apa gunanya muter film action di kereta api kalau penumpangnya nggak denger suara bak-bik-buk?

Thursday, February 18, 2010

Para Bonyok di Jejaring Sosial


"Mati gw. Bokap gw baru ikutan Twitter dan sekarang nanya username gw apa. Should I add him??"

Jeritan panik teman gw di status Twitter itu bikin gw ngakak, beberapa minggu yang lalu. Gw tahu maksud dia, Selena (bukan nama sungguhan, seumuran sama gw), takut bokapnya denger setiap twit-annya yang nggak berwibawa itu.

Semenjak marak kasus cewek a-be-geh yang kabur dari rumah lantaran mau kopi darat sama temen yang baru dikenal di Facebook, kebanyakan orang malah bersuara sumbang, "Salah sendiri, kenapa orangtuanya nggak fesbukan?" Para ahli sibuk mengkampanyekan bahwa orang tua itu mestinya menjadi warga jaringan sosial bukan cuman sekedar jadi "internet migrant", tapi harus sekalian jadi "internet inhabitant". Artinya menjadi warga asli dari dunia maya, beraktivitas normal di dunia maya, dan juga yang penting, berpikir a la dunia maya.

Yang terjadi sekarang, para orang tua umumnya ikut jejaring sosial karena latah, lantaran sungkan dibilang gaptek. Padahal, bonyok yang melek teknologi nggak selalu asyik. Dan harus disyukuri bahwa kadang-kadang bonyok yang gaptek justru lebih aman.

Selena senang curhat di Twitter. Segala hal yang ada di kepalanya dia curhatin: urusan kantor, urusan cem-ceman, sampai urusan pilkada(l). Teman-teman ngerumpinya sesama tweepsies adalah makhluk-makhluk yang isi kepalanya hampir sama, interpretasinya sama, dan sama-sama doyan ngerumpi dengan nyelekit. Dan sekarang, bokapnya mau follow dia, dan apapun yang Selena twit-kan bisa gampang dipantau oleh bokapnya sendiri.

Banyak cerita unik yang bisa kita kupingin kalau mbaca rumpian orang di status-status mereka. Bininya si boss yang semlohay, teman tenis yang curang melulu, sampai Pak RT yang suka ngabisin kue sendirian kalau lagi ngeronda bareng.

Tentu saja ada resiko curhatan-curhatan yang nggak enak itu dibaca oleh orang-orang yang nggak berkenan. Memang langkah antisipasinya, jangan biarkan orang-orang itu nge-add kita di jejaring sosial. Atau tetap di-add, tapi kita nggak usah curhat.

Masalahnya, Sodara-sodara, curhat itu perlu buat melepas stres. Dan nggak afdol kalau curhat di status update itu nggak sampai lampias. Sekarang gimana mau curhat sampai puas, kalau ada orang yang tidak berkenan dengan curhatan kita di status?

Maka gw bisa ngerti kenapa Selena begitu panik di-follow bokapnya sendiri di Twitter. Selama ini Selena begitu puas curhat di status Twitter tentang stresnya dan ada kemungkinan bokapnya juga ikut berkontribusi memperparah timbulnya stres itu. Tapi mosok dia mau nolak bokapnya dan memblokir bokapnya dari daftar follower?

Persoalan gap yang cukup besar tentang cara berpikir antara orang tua dan anak akan semakin pelik kalau sudah merambah ke dunia maya. Coba tengok bedanya perilaku kedua kelompok itu di jejaring sosial. Ada perbedaan ekspresi, cara bicara, cara berpikir, cara bersikap, dan sialnya juga ada perbedaan kadar selera humor. Semua perbedaan itu, bisa bikin problem hubungan antara anak dan orang tua di dunia maya.

Lalu gw pikir, berkaitan dengan Selena, supaya anak dan orang tua nggak sampai stres gara-gara salah satu pihak tidak bisa curhat di status dengan puas, mungkin solusinya si anak kudu bikin dua account sekaligus. Satu account buat di-add bonyoknya, di mana dia bisa mengisi statusnya dengan citra yang jaim seperti anak baik-baik. Lalu satu account lagi buat di-add teman-teman ngerumpi untuk dipakai enak-enak curhat. Betul-betul solusi yang ribet.

Kecuali kalau kita mau mikir solusi yang lebih cerdas: Jangan pernah cepat bereaksi terhadap status update orang lain. Karena setiap status di jejaring sosial hanyalah ledakan perasaan sesaat. Persoalannya, apakah kadar kecerdasan emosional kita cukup untuk itu?

Untung bokap gw belum nge-twit kayak bokapnya Selena. Bokap gw baru fesbukan doang. Dan gw nggak niat ngajarin bokap gw nge-twit.

Menjadi melek teknologi bukan cuman sekedar berupa latah mengikuti jejaring sosial, tapi juga harus bijaksana menyikapi setiap aspirasi yang disampaikan di dunia maya.

Monday, February 15, 2010

Urgensi untuk Menggombal

Suatu hari, ketika gw masih bekerja di rumah sakit dulu, satu lagi pasien gw yang ngaco-ngaco datang. (Gw nggak ngerti kenapa gw selalu dapet pasien yang aneh-aneh. Sebenarnya kasusnya biasa-biasa aja, tapi sudut pandang gw yang selalu nemu yang aneh-aneh dari kasus itu.)

Jadi ke UGD yang waktu itu lagi gw jagain, masuklah seorang emak-emak paruh baya gitu dipapah sama seorang laki-laki yang juga tidak kalah paruh bayanya. “Toluoong..istri saya maagnya kumat..” kata laki-laki yang memapahnya itu.

Maka sementara perawat menidurkan si emak di atas tempat tidur, gw pun menanyai suaminya prosedur standar. “Baiklah, Pak, nama ibunya siapa?” tanya gw.

Si bapak nampak bengong. “Uh, sebentar, Dok,” katanya. Lalu dia ninggalin meja gw, dan menghampiri si pasien. “Bu..Bu..” katanya. “Dupi Ibu teh ngaranna saha?” (Kalau bahasa Sunda diterjemahin ke bahasa linggis, kira-kira artinya, “What’s your name?”)

Gw mengerutkan kening. Oo..bukan keluarganya tho? Waduh, nanti siapa yang bisa dimintai pertanggungjawaban?

Lalu si bapak kembali lagi, “Namanya..Rohayati.” (Ini nama samaran. Gw lupa nama aslinya si pasien itu.)

Gw menulis nama itu di catatan gw. “Bapak ini siapanya Bu Rohayati?”

“Saya suaminya.”

Gw terhenyak. Lhoo? Kok suami lupa nama istrinya sendiri?

Hampir saja mulut gw mau bertanya dengan pedas, “Sampeyan ini suaminya beneran apa bukan?” tapi gw tahan-tahan aja. Orang sudah tua, bisa aja lupa segalanya kan? Termasuk lupa nama bininya sendiri? Lha kalau sehari-hari suaminya biasa manggil istrinya dengan “Ibu”, wajar kalau lama-lama dia lupa nama istrinya toh?

***

Gw jadi geli sendiri, coz inget sebuah blog bikinan seorang warga Singapura tahun lalu. Seorang istri mengadukan suaminya ke polisi, gara-gara suaminya itu memukulnya waktu mereka lagi indehoy. Lha gimana suaminya nggak ngamuk, orang pas lagi di tengah-tengahnya klimaks, tahu-tahu si istri berteriak, “Oh, oh, oh..Paul! Paul! Like that, Paul!”

Apanya yang salah? Ya jelas salah, soalnya nama suaminya itu Jim, bukan Paul. Paul itu nama mantan pacar istrinya! Wkwkwkwk..

Mungkin kecelakaan ini bisa menimpa pasangan mana saja. Masing-masing dari kita semua punya mantan, sebelum sama pasangan yang sekarang, ya kan? Salah panggil nama itu bisa saja terjadi. Bukan maksudnya si istri menduakan cinta suaminya si Jim, tapi ya mungkin-mungkin aja dia belum lupa sama pacarnya yang bernama Paul itu. Makanya dia kamisosolen pas orgasme, maksudnya mau manggil Jim tapi malah jadi manggil Paul.

Sebenarnya jalan pencegahannya kan gampang aja. Kalau sama pasangan, nggak usah panggil namanya, panggil aja dengan segala gombalan yang ada di kepala, mulai dari “Sayang”, “Honey”, atau “Madu”, atau entah apalah. Termasuk buat pasien maag gw tadi. Barangkali memang sehari-hari suaminya manggil nggombal ke istrinya itu ya “Ibu”, bukan Yati atau Eroh. Dengan demikian itu meminimalisir posibilitas salah manggil nama ke pasangan, huehehehe..

Beberapa don’t-s dalam menggombal, supaya gombalan tidak berujung malapetaka:

1. Jangan menggombal pasangan dengan nama binatang. Kolega gw manggil pacarnya “Babi”. Memang tadinya itu pelesetan dari Baby. Tapi berhubung kolega gw itu temperamen berat, jadi manggil pacarnya lama-lama nggak mesra lagi, dan mereka pun putus deh.

2. Supaya rasanya lebih intim, kalau mau nggombal sama pasangan, jangan dilakukan di depan umum. Seorang teman gw waktu masih SMA dulu pernah nekat mutusin pacarnya cuman gara-gara pacarnya nggombal pada tempat yang tidak tepat. Lha si cowok lagi asik-asiknya main basket, tahu-tahu si cewek muncul di lapangan sambil manggil-manggil, “Honey bunny sweetie..! Sini doong!”

3. Jangan menggombalin pasangan di depan orangtuanya juga. Malu ah. Bayangin kalau kita tahu-tahu ngomong gini sama pasangan, “Aduh, pundakku pegel, pijitin dong, Pruebear..” dan tiba-tiba bonyoknya langsung bersin-bersin.. Pruebear, Pruebear apaan? Orang emak-bapaknya biasanya juga manggil anaknya Tole.. :-p

Foto oleh Laily Rachev.

Sunday, February 14, 2010

True Love-ku Bukan Soulmate-ku

Jadi, Brad Pitt cerai dari Angelina Jolie. Ini sungguhan. Kali ini bukan hoax. Penyebabnya? Klasik. Ternyata, Jolie bete coz selama ini Pitt masih sering kepikiran mantan bininya, Jennifer Aniston.

***

Bener nggak sih true love itu sama dengan soulmate? Kalau memang dua istilah itu artinya sama aja, kenapa di dunia ini bisa ada perceraian seperti yang terjadi pada Pitt, Jen, dan Jolie? Lha kalau memang cinta sejati itu ada, kenapa mereka nggak bisa mempertahankan pernikahan sehingga harus bercerai? Bukankah orang menikah untuk alasan yang sama, yaitu karena cinta?
Lantas ketika mereka mutusin bercerai, apakah cinta itu sudah punah lantaran setrumnya sudah habis?

Memang nggak semua orang menikah karena cinta. Beberapa menikah karena memang dicomblangin seperti ayam babon ketemu ayam jago. Atau seperti Sitti Nurbaya yang menikah dengan Datuk Maringgih, buat bayar utang. Tapi pasangan-pasngan yang nggak pernah naksir satu sama lain, ternyata mereka bisa beranak sampai 11 orang, dan punya cucu banyak. Kalau memang sebagian orang menikahkan perempuan hanya semata-mata sebagai obyek seks suami, tapi kalau sampai rela disetubuhi sampai melahirkan belasan anak, berarti dalam pasangan itu sudah terjadi sikap menerima satu sama lain sebagai pasangan hidupnya. Iya kan?

Gw nulis ini, setelah empat hari lalu gw nonton serial Full House bikinan Amrik yang ada Mary Kate Olsen dan Ashley Olsen-nya pas mereka masih umur tiga tahun itu. Masih inget kan, di situ ada pasangan Jesse Cochran (John Stamos, sekarang main di ER) dan Becky Donaldson (Lori Louchin, nggak tahu sekarang jadi apa..). Tiap kali gw nonton film ini, Jesse dan Becky kerjaannya berantem melulu. Lha gimana nggak berantem, Jesse-nya urakan sementara Becky-nya anggun. Kayaknya di dunia nyata nggak mungkin deh mereka bisa pacaran langgeng. Tapi ya kita tahu sendiri kan, pada musim terakhir dari serial ini, Jesse dan Becky kawin dan punya dua anak kembar. Artinya, dua orang yang mungkin secara logika nggak bisa jadi soulmate, barangkali ujung-ujungnya tetap bisa bersama dalam sebuah ikatan pernikahan karena mereka punya true love alias sungguh-sungguh mencintai satu sama lain.

Apakah itu hanya gambaran ideal dari sebuah film fiksi yang sulit terjadi di dunia nyata? Mungkin aja.
Teman gw waktu SMA, pacaran sama teman gw yang satu lagi, selama 10 tahun. Ujung-ujungnya bubar, dan sekarang teman gw jadi istri orang lain. Waktu gw nanya apa alasan teman gw mutusin cowok itu, jawab teman gw simpel aja, “Nyokapnya nggak suka sama gw.”
Yang lebih parah lagi, sepupu gw, pacaran semenjak SMA, lalu menikah setelah mereka lulus kuliah. Anak mereka yang paling besar sudah berumur 10 tahun waktu sepupu gw menggugat cerai setelah ditikungin sama suaminya.

Padahal tadinya gw pikir-pikir, teman gw dan sepupu gw dan masing-masing mantannya, adalah true love. Sepuluh tahun berbagi kasih, ya ampun. Baiklah, mungkin memang katanya Tuhan mereka nggak jodoh. Tapi bagaimana caranya 10 tahun true love itu tidak menjadi soulmate?

Lalu gw mikirin alasan sepupu gw bercerai. Kenapa bisa selingkuh? Kenapa suaminya menemukan kesenangan baru di pelukan wanita lain, yang dia nggak temukan pada sepupu gw? Kalau memang kesenangan itu nggak ada, bukankah seharusnya bisa diciptakan dalam sebuah pernikahan? Apa gunanya pacaran lama semenjak SMA sampai kuliah, kalau begitu?

Lalu untuk teman gw. Apakah betul alasan bubarnya hubungan mereka karena orang tua nggak setuju? Lha yang punya hubungan kan laki-laki dan perempuannya, bukan orang tuanya. Kalau memang nyokapnya nggak suka sama pacarnya, adalah tugasnya si laki-laki mengusahakan supaya si nyokap mau nerima pacarnya coz gimana-gimana juga si cewek itu true love-nya. Bilang dong, “Emak, aku tahu Emak lebih senang kalau aku kencan sama cewek berambut pirang. Tapi bukan salah dia kalau dia berambut ungu.”
Sementara pada saat yang bersamaan kan dia bisa bilang sama pacarnya, “Nanti kalau ke rumah nggak usah sok-sok mbawain alpukat. Emakku lagi diet.”

Pokoknya kalau memang true love itu sungguhan, mbok ya diusahakan supaya hubungan itu jadi langgeng dan tidak berpisah, begitu lho.

Maka gw jadi inget pas minggu lalu gw nguping diskusi teman gw si Ferry di Twitter. Katanya teman gw, “Bini gw mungkin bukan true love gw, tapi dia soulmate gw.”
Soulmate itu, kita mau terima dia apa adanya, untuk hidup bareng kita sampai akhir hayat. Meskipun kalau tidur dia itu ngiler, dia itu ngorok..

Dan konsep menerima seseorang menjadi soulmate itu, yang membuat sebuah hubungan bertahan lama. Berusaha ikhlas berkompromi dengan pasangan yang mungkin nggak sempurna. Memperjuangkan supaya si pacar diterima oleh orang tua. Menikah sampai punya 11 anak. Dan bertahan tanpa berselingkuh dengan orang lain.

Hari ini 14 Februari, alias hari Valentine. Gw sih nggak ikutan eforia Valentine-Valentine-an. Tapi gw menarik amanat penting dari Valentine bahwa kita memang mesti sayang-sayangan, bukan saling sambut dengan sambit. Jadi, marilah kita semua merayakan Valentine, menurut agama dan kepercayaan masing-masing..

Thursday, February 11, 2010

Orasi Atas Nama Tumbal

Kepada yang terhormat Bapak-bapak yang tukang demo,

Mohon dengarkan saya kali ini, karena akhir-akhir ini saya semakin prihatin dengan ulah Bapak-bapak sekalian ketika sedang berdemo. Bapak-bapak, saya dengar, sekarang Bapak-bapak memakai kerbau untuk demo. Kerbau disurung-surung ke jalan, lalu di badannya ditempelin foto pejabat. Pertanyaan saya cuman satu, Bapak-bapak. Apakah Bapak-bapak sudah minta ijin kerbau tersebut untuk ditempelin foto orang yang sama sekali tidak pernah dia kenal?


Lalu, pada minggu yang sama, Bapak-bapak yang lain demo dengan cara menyembeleh ayam. Itu maksudnya apa? Kan kasihan ayam itu seharusnya mencari biji-bijian di tanah, lalu diculik dan disuruh ikutan demo dan ujung-ujungnya disembeleh. Coba kalau ayam bisa bicara, dia akan berteriak, “Petok..! Petok..! Lepaskan aku..! Petook..!”


Tadinya saya mau diam saja, Bapak-bapak. Karena saya pikir, demo-demoan itu toh bukan minat saya. Paling-paling jadi minatnya para tukang teh botol, betul tidak? Tapi tadi malam, saya nonton berita. Saya lihat rekan-rekan Bapak-bapak demo lagi, dan kali ini menyembeleh kambing. Oh my God, Bapak-bapak! Lebaran haji kan baru beberapa bulan lalu, kenapa sudah nyembeleh kambing lagi?


Bapak-bapak tukang demo yang terhormat, masih ingat kan dulu ibu guru kita mengajari kita di SD, apa manfaatnya hewan-hewan itu? Kerbau berguna untuk membajak sawah. Ayam berguna untuk diambil telornya. Kambing berguna untuk dijadikan sate. Apa pernah ada ibu guru nulis di papan tulis, kerbau berguna untuk diajakin demo? Ayam dan kambing disembeleh untuk demo? Nggak, kan?


Coba sekali-kali Bapak-bapak membayangkan diri Bapak-bapak di posisi kerbau, ayam, dan kambing itu. Bagaimana rasanya jadi kerbau, yang biasanya main di sawah, tiba-tiba ditarik masuk ke jalan yang tidak pernah dia lewatin, lalu ditarik ke sana kemari tanpa diberi tahu dirinya mau diapakan? Penampilan kerbau sudah gagah perkasa, tahu-tahu badannya ditempeli foto seseorang yang dia tahu namanya saja tidak? Mungkin menurut Bapak-bapak wajah orang di foto itu lebih tampan ketimbang wajah sang kerbau, tapi bagi sang kerbau narsis mungkin kerbaunya merasa lebih tampan. Tentu sangat menyinggung bagi kerbau itu! Bapak-bapak pikir kenapa orang-orang sedang berwacana supaya lain kali dibikin undang-undang agar kerbau tidak boleh masuk jalan? Bukan buat melarang demo membawa kerbau, tapi ya karena jalan itu memang bukan buat habitatnya kerbau. Coba kalau di tengahnya demo tahu-tahu kerbaunya panik dan kepingin boker, tapi nggak tahu caranya boker di jalan beraspal lantaran biasanya juga boker di sawah, kasihan kerbaunya kan, Bapak-bapak?


Dan ayam itu, untuk apa dibawa-bawa segala buat disembeleh di tengahnya demo? Coba saja kalau tindakan Bapak-bapak ini ketahuan oleh Perserikatan Bangsa Ayam, dijamin mereka semua mogok tidak mau bertelor karena disembeleh semena-mena untuk alasan yang tidak memakmurkan. Hasil sembeleh itu dikemanakan oleh Bapak-bapak? Dagingnya disembeleh pun tidak cukup dimakan rame-rame oleh seluruh pendemo. Bulunya sudah berlumuran darah sehingga tidak pantas lagi dicabutin untuk dijadikan sulak. Dan jeritannya ketika disembeleh pun, siapa yang mau dengar? Begitukah caranya kita mestinya memperlakukan binatang?


Saya tidak akan mengulang paragraf yang sama untuk kambing di siaran tivi itu, Bapak-bapak. Sebagai seorang penyayang binatang, saya sedih melihat Bapak-bapak menumbalkan kambing itu hanya karena Bapak-bapak demo untuk sebuah undang-undang. Memang Tuhan menciptakan kambing itu buat dimakan, Bapak-bapak, tapi kalau kambingnya yang disembeleh cuman satu, ya itu siapa yang mau makan? Mbok kalau mau bikin sate kambing buat seluruh pendemo, kambing yang disembelehnya ya yang banyak, jangan cuman satu ekor. Bapak-bapak ini pernah nyembeleh kambing pas hari raya kurban, nggak sih?


Harusnya tidak usah saya ingatkan lagi di sini, Bapak-bapak. Hewan-hewan itu adalah makhluk hidup, tidak pantas diperlakukan semena-semena di luar fungsinya. Biarkan mereka hidup aman dan tenteram, bukan-bukan pura-pura diajak berdemo padahal ujung-ujungnya malah disembeleh. Coba kalau kita yang jadi hewan dan mereka yang berdemo menentang raja binatang, lantas akhirnya kita ditarik ke sana kemari dan disembeleh, kan merana diri kita, Bapak-bapakku Sayang? (Diriku mulai mirip Sri Gayatri nasabahnya Bank Century.. :p)


Saya menulis ini bukan karena sok-sok membela hak-hak asasi binatang. Saya nggak pernah temenan sama kerbau, saya selalu pesan sate kambing kalau ke warung satenya Pak Sawargi di Cipanas, dan saya menulis ini sambil makan sop ayam. Tapi saya tidak rela, Bapak-bapak mengeksploitasi hewan-hewan itu untuk kepentingan aspirasi Bapak-bapak sendiri, sementara Bapak-bapak tidak memikirkan kepentingan aspirasi hewan-hewan itu untuk membela hak mereka untuk ditanyai, apakah mereka bersedia ikutan demo atau tidak. Hewan juga berhak hidup tenang. Tanpa disembeleh semena-mena. Tanpa ditempeli foto di badan.


Hormat saya,

Vicky Laurentina

Pemerhati Hak-hak Asasi Binatang

Wednesday, February 10, 2010

Jiplakan Sistemik

Mereka bilang, mahasiswa nggak boleh nyontek. Tapi mereka nggak pernah bilang, dosen juga nggak boleh nyontek.

***

Suatu hari di tahun '07 (atau di tahun '08? Gw lupa.), gw menghadiri sebuah konferensi tentang kedokteran jantung, di mana pembicaranya adalah dosen-dosen gw sendiri waktu gw kuliah dulu. Gw, dokter yang waktu itu masih giat-giatnya melahap ilmu tentang pekerjaan gw, bela-belain nyiapin alat tulis gw buat mencatat apapun yang pembicaranya presentasikan.

Lalu tibalah pembicara ini, sebut aja namanya dr Rafael, dosen gw naik ke podium. Dia kebagian presentasi tentang sirkulasi darah. Gw mendengarkannya ngomong sambil nyocokin ke bahan bacaan yang udah dibagiin ke peserta. Lima menit pertama tidak terlalu menarik, coz isi slide presentasinya sama persis dengan bacaannya.
Lima menit kedua, gw mulai mengerutkan kening mbaca teks makalahnya. Gw sumpah pernah lihat bacaan ini, di manaa..gitu.
Lima menit ketiga, gw udah nggak dengerin dosen gw itu bicara, tapi gw ngebut mbaca makalahnya itu. Gw langsung mengenali kalimat-kalimatnya, gaya bahasanya, bahkan caranya menaruh nomer-nomer paragraf dan anak paragraf. Ini kan buku teks gw waktu kuliah?
Pada lima menit keempat, dr Rafael mengakhiri presentasinya. Semua orang bertepuk tangan, tapi gw enggak. Gw malah melototin daftar pustaka pada bagian terakhir makalah. Sumber-sumber untuk makalah itu diambil dari jurnal-jurnal keluaran tahun '80-an. Tidak ada satu pun sumber yang berangka tahun '90-an di makalah itu.

Gw mbatin, kalau cuman nulis makalah ginian, nggak usah jadi dokter spesialis. Dokter umum keluaran S1 kayak gw juga bisa ah.

Gw merasa jadi penonton konferensi yang dibodohin oleh pembicaranya sendiri.

***

Praktisi profesional dateng ke konferensi, simposium, seminar, atau entah apalah namanya, bukan sekedar buat penyegaran otak mengingat kembali ilmu yang pernah kita dapet di bangku kuliah. Tapi kita juga nuntut ada penambahan informasi mengenai penemuan-penemuan baru, dan itu yang diharapkan dari suatu kuliah pada konferensi. Karena itu, dosen yang berbicara di atas podium juga dituntut memberikan kuliah dengan merujuk pada pustaka-pustaka terkini, bukan pustaka jadul yang lebih pantas jadi bahan bacaan mahasiswa S1 awal tahun 2000-an.

Lalu gw menelaah motivasi para dosen gw, kenapa kok mau-maunya jadi pembicara untuk seminar-seminar, padahal di saat yang bersamaan mereka bisa dapet penghasilan yang lebih banyak kalau mereka praktek aja. Ternyata semakin sering mereka presentasi pada pertemuan ilmiah berskala nasional, makin besar angka kredit yang didapat. Makin besar angka kreditnya, maka makin tinggi kemungkinan mereka jadi guru besar.

Persoalannya adalah makin bertambah usia dosen ini, maka kemampuan mereka untuk berkonsentrasi mengembangkan ilmu juga makin berkurang. Ketika seseorang sudah berumur 40 atau 50-an, ternyata mengejar jabatan itu makin susah. Jabatan tinggi itu cuman bisa diperoleh kalau sering bikin makalah ilmiah untuk dipresentasikan di forum-forum ilmiah. Masalahnya, untuk bikin makalah itu sang dosen mesti banyak baca jurnal ini-itu, dan waktunya nggak ada. Jadilah mereka nyuruh orang lain untuk bikin makalah itu.

Buat dosen, gampang aja nyuruh orang bikin makalah. Suruh aja mahasiswanya, entah itu mahasiswa S1 atau S2-nya, dengan iming-imingan nilai A. Mahasiswa, yang mengincar kelulusan kuliah, akan ngerjain tugas itu tanpa dibayar. Tapi mahasiswanya juga nggak mau repot, ketimbang mereka membongkar 10 jurnal di perpustakaan kampus, mereka milih nyalin buku teks mereka sendiri lengkap dengan meng-copy paste 10 daftar pustaka di buku teks itu.

Plagiasi tidak sengaja?

Jadi kalau ada seorang guru besar disomasi gara-gara karya ilmiahnya ternyata menjiplak karya ilmiah orang lain, barangkali guru itu memang tidak mencontek. Tapi orang yang disuruhnya membuatkan karya ilmiah itulah yang menjiplak.

Namun, sekarang yang mesti kita pertanyakan kepada Pak dan Bu Dosen, mosok sih, buat bikin makalah atas nama sendiri aja, mesti pakai nyuruh-nyuruh dibikinin orang lain?

Gw nulis ini setelah hari ini baca berita, seorang guru besar sebuah kampus di Bandung terancam dikeluarkan gara-gara karya ilmiahnya ternyata ngejiplak sebuah karya ilmiah dari kampus di Ostrali.

Kalau pendidikan di negara kita dibangun oleh guru-guru yang nggak pe-de bikin makalahnya sendiri, lantas gimana mahasiswanya mau jadi sarjana yang pe-de dengan kemampuannya sendiri?

Tuesday, February 9, 2010

"Saya Masuk Majalah!"

Gw nggak ngerti kenapa orang seneng banget kalau tampangnya masuk media. Lebih parah lagi pakai acara bilang-bilang segala ke semua orang. Ya ke emaknya di kampong, ke tetangga-tetangganya sekelurahan, sampai ke teman-teman lamanya. Dikiranya selebritis kali.

Ceritanya hari ini gw mau ke sebuah pameran di kota. Terus sebelum gw pergi, nyokap gw bilang kalau nyokap gw nitip minta dibeliin majalah Sekar. Pikir gw, kok tumben-tumbenan nyokap gw minta dibeliin majalah, orang biasanya juga nyokap gw nggak pernah baca majalah. Nyokap gw lebih suka baca Detik.com ketimbang majalah.

Kata nyokap, temennya nyokap dimuat fotonya di situ. Terus, si tante itu ng-SMS massal ke temen-temennya semasa SMA, supaya beli tuh majalah. Gw cuman geleng-geleng kepala. Ya ampun, ada-ada aja deh.

Lalu, karena gw rada-rada nggak gaul sama majalah-majalah lokal, jadi gw nggak ngeh ada majalah namanya Sekar.

Gw: “Itu majalah, Mom? Majalah edisi kapan?” Siapa tahu dimuatnya udah lama gitu, kan susah nyarinya.

Mom: “Nggak tau.”

Gw: “Lho, itu majalah mingguan apa bulanan?” Awas ya kalau dimuatnya minggu lalu, pasti sekarang udah nggak beredar di pasaran.

Mom: “Nggak tau.”

Gw: (mulai menatap Mom curiga) “Sekar itu nama majalah atau tabloid, Mom?”

Mom: “Majalah!”

Gw nggak yakin. Nyokap gw suka kamisosolen gitu, suka salah nyebut nama. Takutnya gw mencari majalah yang tidak pernah ada. “Lihat nantilah,” tukas gw. Gw takutnya Sekar itu bukan majalah beken, jadinya mang-mang di pinggir jalan pada nggak ngeh. Gw kan tahunya Cosmopolitan, Harper’s Bazaar, Elle, hehehe. Eh, majalah Sarinah atau Pertiwi itu masih ada nggak sih?

*alangkah jadulnya diriku*Jadi gw pergi ke pameran. Pulang dari pameran ternyata hujan deres. Hati gw yang be-te berat, lantaran ternyata pamerannya nggak bagus-bagus amat, ditambah mikirin my hunk yang tadi pagi bilang ternyata lagi sakit kepala, bikin gw rasanya mau ngamuk. Ngapain sih hujan-hujan gini keluyuran? Mending pulang, naik ke tempat tidur, telfonin dos-q dan mengucapkan kata-kata penghiburan. I’m sorry, Baby, nggak bisa terbang ke situ buat mijitin kamu, hiks.. Coba kalau tiket pesawat semurah angkot..

Tapi nyokap gw sudah be-te beberapa hari terakhir ini karena beberapa kerusakan yang terjadi, ya udahlah sini gw hibur. Lagian juga toko bukunya kan lewat jalan pulang ke rumah, kayaknya nggak rugi-rugi amat kalau gw mampir situ buat nyari majalahnya. Majalah apa tadi namanya? Sekar? Haduuh..paling-paling foto mukanya temennya nyokap itu cuman dimuat kecil doang.. *dasar ponakan kurang ajar*

Akhirnya gw mampir toko buku. Memang Tuhan memberkati semua anak yang berniat menyenangkan orangtuanya, begitu gw tiba di rak majalah, ternyata langsung kelihatan majalah Sekar di situ. Gw ambil satu. Siyalan, diplastikin semua. Kan gw jadi nggak tahu fotonya temennya nyokap gw itu dimuat di halaman mana.


Pulang-pulang, alangkah sumringahnya nyokap gw waktu gw tiba di rumah sambil bawa majalah Sekar. “Ada fotonya?” tanya nyokap gw.

“Woo..ya ndak tau. Kan plastiknya ndak boleh dibuka di tokonya, Mom,” kata gw.

Nyokap gw pun buka tuh majalah. Terus dibolak-balik halamannya. “Mana sih?” Dibolak-baliknya majalah itu berkali-kali, kok nggak nemu temennya juga. “Ini yang paling baru?”

“Yang paling baru, Mom. Lihat tuh, edisinya dari 27 Januari sampai 10 Februari,” gw nunjukin tulisan di cover-nya.

“Iya, tapi kok ndak ada fotonya si Bethanie itu,” kata nyokap gw.

“Coba tanyain tuh ke temennya Mom, edisi kapan? Jangan-jangan udah edisi Agustus tapi baru bilangnya sekarang,” ledek gw.

Nyokap gw langsung ng-SMS temennya itu, yang bilang-bilang kalau fotonya dimuat di Sekar. Beberapa saat kemudian, nyokap gw berdecak nggak sabar. “Dasar..”

“Gimana, Mom?” tanya gw.

Nyokap gw menatap gw, ngacungin SMS dari temennya itu. “Fotonya dimuat di majalah Sekar nomer 24.”

“Lha itu yang tadi barusan ta’ beli itu Sekar nomer berapa?”

“Nomer 23!”

Gubrag! Bilang dari tadi pagi, nappaa..! “Ndak mau tau! Pokoke wis ta’ beliin!” seru gw sambil lari ke kamar. “Edisi berikutnya itu baru terbit tanggal 11!”

Gw mentung-mentung kepala gw sendiri. Dasar. Temennya nyokap ada-ada aja, cuman masuk majalah aja pakai acara bilang-bilang segala ke nyokap gw. Dan nyokap gw ikutan penasaran pula. Untung majalah Sekar ternyata isinya bagus. Untung juga toko bukunya selewat sama jalan pulang. Udah dibela-belain ke toko buku nembus hujan tadi, hahaha..

“Ky!” seru nyokap gw. “Nanti kalau edisi yang berikutnya sudah terbit, Mom dibeliin ya!”

“Jadi belinya dua kali??” jerit gw. Dooh..

*Buat Tante Bethanie yang baca ini, saya menyamarkan nama Tante yang sebenarnya tapi Tante pasti tahu bahwa tulisan ini tentang Tante. Duh, Tante, mbok ya kalau mau promosi masuk majalah bilangnya ya pas edisi majalahnya udah terbit dong, jangan sebelum edisi majalahnya dijual di toko.. Tante yang narsis, kok jadi saya yang ikutan dikerjain..*

Monday, February 8, 2010

Helm Tukang Naik Sepeda


Pria-pria ini menarik perhatian gw sehingga gw nggak tahan buat nggak motretin mereka. :D

Komunitas pengendara sepeda naik daun dengan pesat dalam beberapa tahun terakhir dan gw merasa melihat mereka ada di tiap kota. Kemaren pagi, pas gw lagi beli bubur ayam di deket rumah, pria-pria pesepeda ini nongol dan ikutan ngantre.

Gw lihat pesepeda pada umumnya kalau pakai helm itu rata-rata beda ya dari pengendara motor. Padahal kalau dipikir-pikir, kan kendaraannya sama-sama beresiko kecelakaan juga. Memang yang satu bisa dijalanin tanpa bahan bakar, sedangkan yang satu lagi dijalanin harus pakai bensin atau minyak tanah (atau minyak goreng!). Tapi kenapa helmnya mesti beda? Apalagi per 1 April nanti semua pengendara motor mesti pakai helm yang ada cap Standar Nasional Indonesia-nya, dan kalau nggak ada cap SNI itu helmnya ke laut aja. Menurut gw, regulasi SNI itu bagus banget buat melindungi dari kecelakaan, tapi kenapa nggak diberlakukan sekalian aja kepada para pesepeda?

Bayangin pesepeda pakai helm yang nutupin seluruh kepala kecuali muka. Jalannya miring curam, pesepeda meluncur turun dan dia kehilangan keseimbangan. Pesepeda jatuh, batok tengkorak terlindungi, tapi mukanya menghantam jalan. Minimal giginya rontok dua biji.
Mungkin kecelakaan begini bisa dihindari kalau aja dia pakai helm yang juga nutupin seluruh mukanya.

Ide gw mungkin konyol, tapi adakah alasan buat bilang tidak? ;-)

Saturday, February 6, 2010

Hina, Tapi Nikmat


Ceker, dalam beberapa budaya selalu dianggap sebagai makanan yang menjijikkan. Soalnya, ceker kan berupa cakar ayam, jadi orang jijay makaninnya lantaran kebayang kaki ayam yang pernah nginjak-nginjak tanah nggak pakai sendal.

Sebenarnya menurut gw, itu rada diskriminatif. Kenapa ada orang memuja sop kaki sapi, tapi menjelek-jelekkan ceker ayam?

Padahal di Bandung, ada restoran bakso yang menu jualannya bakso ceker. Jadi di mangkoknya nanti ada bakso bonus ceker. Penggemarnya bejibun lho.

Tapi gw sendiri nggak terlalu demen atas percekeran ini. Soalnya dagingnya nggak ada, kulitnya dikit. Mana makannya berantakan pula, nggak anggun blas.

Nyokap gw bilang, kalau ngoleh-olehin orang berupa ayam potong, jangan lupa pastikan cekernya nggak ikutan. Kalau sampai ikutan teroleh-olehi, takutnya yang kita hibahkan ayam itu tersinggung. Mosok ngasih hadiah berupa kaki?

Aneh. Padahal kan makanan apapun dari ayam, entah itu kakinya atau sayapnya, kalau sama-sama udah dimasak sampai steril, ya sah-sah aja buat dimakan. Coba kalau tuh ceker kita ambil kulitnya doang, mana tahu orang kalau kulitnya dari telapak kaki?
*nggak mungkin. Susah tahu ngulitin ceker ayam..*

Gambar di atas itu ceker lada hitam. Gw harus mengamatinya sungguh-sungguh kalau itu ceker. Beberapa dari kita mungkin lebih peduli rasa ketimbang penampilan. Kalau rasanya memang enak, siapa peduli sih kalau itu ceker ayam?

Wednesday, February 3, 2010

Bubarlah, Penolakan!

Pernahkah Anda menolak-nolak sesuatu tapi ujung-ujungnya malah mendapatkannya? Misalnya Anda alergi petis tapi kemudian malah dapet pacar yang doyan tahu petis? Well, semacam itu terjadi pada keluarga seorang teman gw akhir-akhir ini.

Jika nggak ada aral melintang (ngomong-ngomong, aral itu apa sih?), keluarga besar teman gw akan punya menantu anyar beberapa bulan lagi. Teman gw baru tunangan, dan pacarnya itu orang Betawi.

Jaman sudah makin bergeser, tapi kebiasaan orang kalau denger orang lain mau mantu tidak pernah berubah. Apa yang Anda pertanyakan pertama kali kalau orang lain mau mantu?

Gw selalu nanya, "Apa kerjaannya?"
Maksud gw, apakah si laki-laki bisa kasih makan ke yang perempuan?

Orang lain mungkin nanya,
"Umurnya berapa?" Mungkin maksudnya, yang laki-laki bisa membimbing yang perempuan, nggak?
"Tinggal di mana?" Apakah setelah mereka jadi keluarga baru, mereka ini mau berjuang berduaan atau masih minta makan sama bonyok masing-masing.
Dan ini, "Dapet besan orang mana?" Yang ini, gw sama sekali nggak ngerti korelasinya.

Jadi dulu, orang tuanya Gisele teman gw ini, pernah berangan-angan, kalau punya mantu, kalau bisa jangan dapet orang Betawi. (Demi informasi Anda, keluarganya Gisele ini Timur Tengah, alias campuran Jawa Timur dan Jawa Tengah!)
Alasannya sungguh maha cemen, orang Betawi itu kalau kawin pasti bawaannya berisik, soalnya keluarganya yang dateng itu bawa genderang dan meledak-ledakin petasan. Hahaha..

*Jelas sekali keluarganya Gisele ini kebanyakan nonton Si Doel Anak Sekolahan*

Gw bukan orang Betawi, jadi melalui blog ini gw mau nanya sama Sodara-sodara Jemaah, bener nggak sih pernikahan orang Betawi itu bawa-bawa musik genderang dan petasan segala?
*Soalnya kalau beneran gini, nanti pas Gisele kawin, gw mau pakai sumbat kuping dan jaket anti peluru*

Maka bisa dibayangin setelah seumur hidupnya bonyoknya Gisele nggak mau besanan sama orang Betawi, sekarang mereka cuman melongo lihat Gisele kecantol sama cowok Betawi. Ya nggak bisa dilepas, lha gw lihat pacarnya Gisele itu juga anaknya baik dan setia.

Katanya seorang ulama besar di negeri ini, cinta itu fondasinya empat: Pengenalan, Perhatian, Penghormatan, Kesetiaan. Kalau salah satunya gugur, maka buyarlah cinta. (disalin dari Twitter-nya, 25 Januari 2010, jam 6.17 pagi).

Padahal seingat gw, gw tahunya orang Betawi itu paling royal kalau urusan ngasih seserahan ke keluarga penganten wanita pas kawin. Ada kue-kue, perhiasan emas, dan entah apa lagi. Bonyoknya Gisele mestinya bersorak!

*Matre MODE : ON*

Cinta nggak bisa milih, kan? Kalau hati udah lengket, ya lengket aja. Meskipun selain kita udah menentukan kriteria menantu ideal, kita juga udah menentukan kriteria eksklusi menantu. Misalnya, nggak mau menantu dari etnis X, dari agama X, punya pekerjaan X, tinggal di pulau X, dan lain-lain. Tapi semua kriteria eksklusi itu buyar kalau ternyata takdir itu bicara lain.

Masalahnya bukanlah kita harus melonggarkan standar kriteria kita yang idealis. Tapi problemnya, apakah kita mesti buru-buru menolak sesuatu yang tidak kita ketahui dengan sungguh-sungguh?

Foto dari http://cahpamulang.multiply.com

Tuesday, February 2, 2010

Dua Kali Pencet

Sudah seberapa besar Anda mempercayai e-banking?

Seorang kolega gw di Surabaya pernah cerita ke gw, bokapnya yang berusia sekitar 50-an ngantre di depan teller Bank Capek Antrinya cuman buat transfer uang ke rekening kakaknya di Solo. Bokapnya nggak pakai ATM, coz dos-q nggak tahu caranya pakai ATM, dan nggak berniat buat belajar pakai ATM. Alasannya, dos-q takut duitnya ilang ditelen mesin.

Batin gw, itu baru pakai ATM, belum ngeh kalau sekarang orang sudah ramai-ramai pakai e-banking.

Eh, ATM itu e-banking juga kan ya?
Di bank tempat gw nabung, e-banking itu lebih sering dirujuk untuk mobile banking dan internet banking.

Semalam, di rumah bokap gw mengaduh bahwa bokap gw baru aja mentransfer duit ke rekening gw dua kali. Tentu saja gw jingkrak-jingkrak, hahaha.. Lha niat bokap gw kan cuman mentransfer sejumlah sekian perak aja via internet banking, tapi gara-gara bokap gw nggak sengaja mencet icon transfer itu dua kali, akibatnya jumlah yang tertransfer jadi dua kali lipat. Kalau gw pikir-pikir, ini mungkin gara-gara waktu mencet icon itu, data terkirim, tapi koneksi internetnya mendadak putus. Lalu robot browser-nya kompie itu men-submit ulang sehingga data jadi terkirim dua kali. Entahlah, gw nggak ngerti perkara proses pengiriman data internet ini. Pokoknya gara-gara koneksi internet putus, jumlah transferan yang terjadi pun berubah dari jumlah yang dikehendaki semula.

Batin gw, untung jumlah yang terdebet nggak banyak-banyak amat, jadi duit yang “ilang” pun nggak terlalu bejibun. Dan masih untung juga duit yang “ilang” itu jatuhnya ke rekening gw. Coba kalau jumlah transaksinya mencapai trilyunan dan jatuhnya ke rekening orang yang nggak kita kenal, kan repot?

Jadi, sebenarnya bank-bank di Indonesia sudah cukup maju karena sudah mulai memakai e-banking pada pelayanannya. Cuman koneksi internet di negeri kita ini yang kadang-kadang masih senang mogok di tengah jalan sehingga mengacaukan transaksi.

Jangankan buat urusan perbankan. Gw ngasih komentar di blog orang aja sering tersubmit dua kali gara-gara koneksinya kacau. Sampai malu gw sama yang punya blog. Orang kalau ngirim komentar yang sama pada blog yang sama kan berarti sama aja nyepam, weitjee..

Monday, February 1, 2010

Cara Wanita Naik Ojek

Jujur aja, sampai dua tahun lalu, mbonceng motor sebagai kendaraan andalan nggak pernah terlintas di kepala gw. Mungkin cuman satu-dua kali seumur-umur gw pernah naik ojek, itu juga karena keadaan darurat lantaran ketakutan telat kuliah. Kalau urusan transportasi dalam kota gw selalu naik mobil, angkot, atau bis, apa ajalah asalkan rodanya ada empat.

Jadi waktu dua tahun lalu gw dipanggil Negara buat kerja di Cali, gw sempat kecil hati lantaran ternyata di sana nggak ada bemo. Gw sempat ditawarin motor dinas sih di sana, tapi karena gw nggak bisa naik motor, akhirnya seorang ajudan dikirim oleh kantor buat ngejemput dan nganterin gw di apartemen gw setiap hari. Ya itu kan kalau untuk keperluan kerja, tapi gimana kalau urusannya pribadi, misalnya pergi ke pasar? Mau nggak mau gw terpaksa belajar naik ojek dong. Kalau gw nggak naik ojek, mosok gw mau nenteng belanjaan sayur dan ayam sambil jalan kaki sejauh satu kilo?

*dasar cengeng*

Nah, gw pun diajarin nyokap gw tentang caranya naik ojek yang baik dan benar. Kita sebagai perempuan perlu belajar lho cara naik ojek ini, apalagi sekarang udah keluar fatwa di Jawa Timur bahwa wanita diharamkan buat naik ojek karena dapat mengundang kemaksiatan, hehehe.. (Ck ck ck..dapet dari mana sih ide itu? Gw aja dulu kerja setahun di Cali dan sering banget naik ojek, nggak pernah tuh sedetik pun kecantol sama tukang ojek)

Yang paling gw takutkan dari naik ojek motor itu, gw takut jatuh dari motor. Soalnya adek gw pernah jatuh dari motor waktu dia balita (sebenarnya itu lantaran dia ceroboh, dia turun meloncat tanpa bilang-bilang dulu sama satpam sekolah yang nganterin dia), dan kakak gw mengalami patah dua kaki waktu lagi boncengan sama pacarnya. Tentu saja solusinya sebenarnya gampang aja, “Makanya, pegangan!” Tapi kan nggak mungkin gw pegangan sama badan tukang ojeknya, nanti keenakan dong si tukang ojek? (Tidak, sebenarnya karena gw takut dikejar-kejar asosiasi istri tukang ojek di Cali pakai mandau.) Jadi akhirnya gw selalu memakai posisi andalan selama naik ojek: tangan kanan mengempit tas, tangan kiri pegangan ke besi di bagian belakang motor.

Terus terang aja, sekarang, setelah gw pensiun dari Cali dan nggak pernah naik ojek lagi, setiap kali gw mengenang peristiwa itu, gw baru menyadari bahwa posisi gw itu sangat aneh.

Nyokap gw, pas ke Jakarta dua hari lalu, terpaksa naik ojek. Nyokap gw ceritanya mau pergi dari Pamulang ke rumah Grandma gw. Sebenarnya gw lebih suka nyokap gw naik taksi aja, tapi memang jiwa petualang keluarga kami lagi kumat, jadi nyokap gw memilih naik ojek. Soalnya seumur-umur nggak pernah nyokap gw naik ojek, hahaha. Nah, pasalnya kan bawaan nyokap gw lagi bejibun nih, kiri-kanan bawa gembolan, jadi nyokap gw nggak bisa pegangan ke besi belakang motor. Jadilah nyokap gw terpaksa pegangan jaket (bukan bodinya) si tukang ojek. Kata nyokap gw, bau jaketnya si tukang tuh ampun-ampunan..

“Ya ndak usah dicium baunya toh, Mom..” kata gw.

Kata nyokap gw, “Kan jalannya banyak polisi tidur, mau nggak mau duduknya Mom sering tersentak ke bahunya si tukang ojek dan akibatnya jadi kebauan jaketnya si tukang ojek..!”

Oh ya, temennya Grandma gw pernah kasih tips supaya naik ojek nggak mbayar. Pegang pinggangnya si tukang ojek pakai dua tangan. Pasti begitu di tempat tujuan, si tukang ojeknya nggak minta bayaran! Tukas gw denger ide itu, “Ya iyalah, nggak bayar! Kan keenakan tukang ojeknya dong!”

Tips buat cewek dalam urusan naik ojek:
1. Usahakan pakai celana. Jangan pakai rok kalau naik ojek. Kalau terpaksa pakai rok, duduklah menyamping. Dan sebisa mungkin, jangan pakai rok yang mamerin paha.
2. Kalau roknya panjang, pegang ujung roknya erat-erat sepanjang jalan. Jangan sampai ujung roknya kelibatan sama roda motor. Bukan kesiyan sama roknya yang ujungnya jadi sobek binti ancur, tapi kesiyan roda motornya jadi keserimpet!
3. Lebih baik cari tukang ojek yang sedia helm sendiri buat penumpangnya. Kalau memang langganan ojek dan tukangnya nggak sedia helm, beli dong helm sendiri buat dipakai naik ojek. Kesejahteraan kepala lebih berharga daripada apapun.
4. Usahakan taruh batas antara diri Anda dengan tukang ojek, misalnya berupa tas atau kantong belanjaan. Jangan sampai gunung-gunung kembar Anda menyentuh punggung tukang ojek. Cowok punya saraf seksual yang sensitif lho di punggungnya, mereka tahu kalau ada benda empuk yang enak menggeret-geret belakang punggung mereka.
5. Jangan naik ojek sampai motornya ditumpangi penumpang lebih dari dua. Apalagi sampai berlima seperti foto di atas. Efisien sih efisien, tapi nggak usah kayak ginilah!