Tuesday, March 18, 2014

Argowilis Baret-baret

Dalam tiga tahun terakhir, kereta api di Indonesia berjuang keras memperbaiki mutunya supaya bisa nganterin jutaan orang di Indonesia Barat. Perbaikan itu terjadi di segala sendi, mulai dari peremajaan mesin sampek mengkarantina peron stasiun. Alhasil, citra kereta api pun pelan-pelan berubah, yang tadinya merupakan transportasi slaman-slamet-slumun menjadi moda ideal yang asik buat wisata senang-senang.



Hari ini saya mudik dari Surabaya ke Bandung. Biasanya bokap selalu nyuruh saya naik pesawat, tapi kali ini saya kepingin sekali naik kereta. Alasan utamanya, coz saya ingin motret pemandangan di luar jendela sepanjang perjalanan. Dan alasan lain yang juga sama pentingnya, saya kepingin lihat perubahan perkeretaapian di negeri ini, setelah saya terakhir kali naik kereta tiga tahun lalu.

Saya sudah merasakan perubahan itu sebenarnya semenjak dua tahun lalu. Waktu itu saya kepingin bikin pre-wed di peron stasiun. Soalnya, pada tahun pertama saya dan my hunk pacaran jarak jauh antara Bandung dan Surabaya, kami cuman ketemu sebentar-sebentar doang. Ritual rutin kami adalah my hunk nungguin saya naik kereta sambil duduk di peron stasiun Gubeng, dan saya biasanya nggak mau naik kereta kalau belom lima menit menjelang keberangkatan. Dan biasanya saya berdiri di pintu kereta sementara my hunk di lantai peron, lalu kami diem-dieman sembari liat-liatan sampek keretanya bergerak maju pelan-pelan dan akhirnya saya ninggalin my hunk bersama kereta. Persis film-film sok romantis jaman dulu, hahaha!

Tapi ketika saya mau bikin pre-wed dan studi lapangan untuk nyiapin konsep, kami langsung tahu bahwa konsep sok romantis di peron stasiun itu terpaksa dicoret. Penyebabnya? Jangankan mau pre-wed, pengantar calon penumpang aja sekarang nggak boleh masuk peron. Pokoknya yang bukan mau naik kereta nggak boleh masuk. Jiaaah..bubar deh prewed di stasiunnya.. :p

Nah, untuk merealisasikan niat saya motret-motret pemandangan sepanjang perjalanan, saya sengaja pilih kereta yang berangkat pagi dan tiba malam. Saya bela-belain pesen ke petugas loket tiket bahwa saya kepingin seat di deket jendela. Alhasil saya dikasih seat nomer 11D di kereta Argowilis.

Argowilis berangkat tepat waktu jam 7.30 di stasiun Gubeng. Saya beli tiket H-3 untuk berangkat Senen ini, dan saya dikenain tarif Rp 350k (seandainya saya bikin itinerary lebih gesit, mungkin saya bisa dapet harga lebih murah).

Pramugari kereta sekarang seger-seger, atau mungkin saya yang lagi beruntung. (Soalnya terakhir kali saya naik kereta tiga tahun lalu, pramugarinya nampak susah-payah berusaha mesem-mesem tapi keringetan terus). Sepanjang perjalanan kita disuguhin film-film edukasi kartun tentang kereta api. Kadang-kadang mereka muterin film lepas juga (hari ini kita diputerin film tiga kali, yang satu film silat Cina dan yang satu lagi film drama komedinya Sandra Bullock, lalu film dramanya Owen Wilson, saya lupa judulnya apa). Kadang-kadang ada acara puterin video klip juga dari lagu-lagu jaman sekarang. Saya sih nggak terlalu perhatiin coz seat saya posisinya jauh dari tivi. Lagian saya kan sibuk motret.

Toilet kereta juga cukup bersih biarpun nggak sebersih toilet pesawat. Ada sprayer di deket toilet dan disediain tisu gulung. Tapi tetep peraturannya sama, cuman boleh pake toiletnya kalau keretanya lagi lari. (Why? Why? Kenapa mereka masih pake prinsip lempar tokai sembunyi bokong?)

Kebijakan PT Kereta Api Indonesia untuk melarang stasiun memasukkan non-penumpang ke dalam peron ternyata berdampak bagus banget. Di tiap stasiun yang saya singgahin, semua stasiunnya bersih sekali, baik itu stasiun kota besar maupun stasiun di desa-desa kecil. Memang di beberapa desa kecil masih nampak pedagang-pedagang asongan berkeliaran di peron dan beberapa pengantar diijinkan masuk untuk nganterin calon penumpang masuk kereta, tetapi jumlahnya bisa diana dengan jari tangan.

Nah, gimana dengan tujuan utama saya yang mau motret-motret pemandangan? Sayang banget, Sodara-sodara, ternyata seat 11D yang saya dudukin, kaca jendelanya baret-baret, huhuhu. Mungkin ada yang pernah ngelemparin kacanya. Maka foto-foto jepretan saya pun pasti ada cacatnya, terutama berupa scatter dari kaca jendela yang retak.

Tadinya saya pikir, mungkin yang harus saya pesenin ke loket kalau mau beli tiket bukanlah cuman saya kepingin seat di sebelah jendela. Tetapi saya harus pesen saya kepingin seat di sebelah jendela yang nggak ada baretnya. Namun kemudian saya lihat semua jendela di seluruh gerbong dan melongo. Semua jendela itu baret!

Saya ngerti PT KAI telah bersusah-payah memperbaiki pelayanan kereta, tetapi mungkin mengganti kaca semua jendela kereta akan butuh biaya yang terlalu mahal. Terutama untuk memuaskan hati fotografer amatiran yang tergila-gila motret landscape. :p

Saya harap suatu hari nanti nggak cuman Jawa, Medan atau Sawahlunto aja yang bisa merasakan kereta api. Tetapi pulau-pulau lain di Indonesia juga saya doain bisa diladeni oleh kereta. Sebenernya Cali itu asik banget buat dibikinin rel kereta, coz pulau yang satu itu hampir-hampir nggak ada gunungnya, jadi gampang kalo mau bikin rel.

Eh ya, kalo Anda rada kurang kerjaan dan tangan rada gatel, cobalah cari kegiatan yang berguna, misalnya jadi atlit lempar lembing atau atlit bola voli. Lumayan kalo jago kan bisa dikirim ke Olimpiade. Daripada cuman ngelemparin batu ke kereta api, kasian fotografer-fotografer amatiran kayak saya, yang kepingin motret pemandangan kok malah jadi motret jendela baret, hihihi.. :p
http://laurentina.wordpress.com
http://georgetterox.blogspot.com