Monday, March 10, 2014

Eutanasia Sudah Lama di Indonesia


Saya nggak tahu siapa yang pertama kali menemukan pipa bantu napas, tapi alat ini tidak hanya berhasil memperpanjang umur manusia, namun juga membawa banyak masalah untuk umat manusia.

Manusia perlu bernafas. Untuk bernafas itu manusia perlu tenggorokan. Persoalan nafas ini jadi repot kalau tenggorokan mampet sehingga oksigen nggak bisa ngalir. Misalnya infeksi yang bikin kuman numpuk di dalem tenggorokan sehingga jadi batu. Atau tulang leher patah dan serpihan tulangnya melintang di tengah tenggorokan. Intinya yang bikin tenggorokan mampet sehingga penderita nggak bisa nafas. Maka diciptakanlah pipa kecil dari plastik. Pipa ini akan dimasukin ke dalam tenggorokan, dan jadi saluran untuk ngalirin oksigen. Sehingga penderita bisa nafas melalui pipa ini meskipun tenggorokannya mampet.
Ketika penderita dapet oksigen, maka jantungnya akan bisa berdetak. Detak jantung inilah yang dipahami orang awam sebagai “umur” atau “nyawa”.

Persoalan jadi rumit ketika orang cuman memahami urusan nafas separuh-paruh. Karena fungsi oksigen sebetulnya bukan cuman bikin jantung berdetak, tapi yang lebih penting lagi harus bisa ngalir ke otak. Jika otak nggak dapet oksigen, maka otak itu mati. Padahal otak harus hidup, supaya penderita bisa gerakin kaki tangannya, supaya bisa senyum, supaya bisa kedip. Pernah lihat orang di rumah sakit yang tiduran terus, tapi matanya melek, dia nggak berespons tapi dia tetap bernafas? Dia sudah mati otak, tapi dia masih punya pipa bantu nafas. Yang seperti ini bisa hidup berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.


Masalahnya, otak yang mati nggak akan bisa sembuh seperti sedia kala. Karena sel saraf pada otak yang sudah rusak tidak punya kemampuan untuk sembuh (tidak sama seperti sel tulang yang kalau patah pun bisa nyambung lagi). Pipa bantu nafas hanya membantu nafas, bukan menyembuhkan otak. Maka, orang yang sudah pernah koma akan sulit bisa hidup seperti sedia kala (hidup itu maksudnya bisa berkedip, bisa senyum, bisa mikir). Pipa itu memperpanjang nyawa, tapi tidak memberi hidup yang berkualitas.

Pipa-pipaan ini jadi polemik ketika masuk urusan pembiayaan. Untuk mengoperasikan pipa, butuh mesin yang cukup rumit. Di beberapa negara maju semacam Amerika Serikat atau Inggris, asuransi cuman bersedia membayari pipa selama kurun waktu tertentu. Selebihnya, kalau keluarga penderita ngeyel supaya penggunaan pipa itu diperpanjang, keluarganya harus bayar sendiri. Di Indonesia, ilustrasi penggunaan pipa bantu napas selama satu hari adalah sekitar satu juta rupiah.

Selain direpotin urusan duit, merawat pipa bantu napas juga nggak gampang. Penggunaan pipa bantu napas lebih dari dua hari bisa bikin radang paru-paru. Sebabnya, memasukkan pipa ke dalam tenggorokan bisa menciptakan jalan baru bagi kuman baru untuk masuk ke dalam paru.

Nggak heran, banyak dokter ngeri pakai pipa bantu napas lama-lama. Maka konsep eutanasia pun ditawarkan. Konsep ini bertujuan mengakhiri nyawa penderita yang sulit diselamatkan secara sengaja. Biasanya eutanasia ini ditujukan kepada penderita yang sudah mati otak. Tujuan konsep ini sebetulnya baik, maksudnya menghindarkan penderita dari bahaya pnemonia yang tercipta melalui penggunaan alat bantu napas yang mubazir. Kenapa kok mubazir? Karena menggunakan alat bantu napas tidak pernah akan bisa menghidupkan otaknya kembali, sehingga tidak akan mengembalikan kualitas hidupnya. Bukannya membuat penderita menjadi baik, tapi malah membuat penderita semakin menderita, dan sebetulnya, imbasnya juga menimpa kualitas hidup keluarganya yang menanggungnya.

Di Belanda, eutanasia sudah legal. Di Amerika, eutanasia juga sudah disetujui di beberapa negara bagian. Indonesia masih malu-malu untuk mengakui eutanasia. Eutanasia di negeri ini masih dianggap sama dengan membunuh orang.

Padahal sebetulnya, rakyat Indonesia sudah sering melakukan eutanasia tanpa sadar. Pernah lihat penderita sakit-sakitan tapi ditahan di rumah dan nggak dibawa ke rumah sakit untuk dicarikan jalan pengobatan yang terbaik? Pernah lihat penderita disarankan dokter untuk tetap di rumah sakit untuk perbaikan kondisi tapi dipaksa keluarganya untuk pulang dengan alasan nggak ada yang menjaga? Itu juga eutanasia. Mengakhiri hidup orang. Meskipun melakukannya dengan pelan-pelan..

Saya nulis ini setelah baca tulisannya Kimi Rizkika di sini