Saya nggak tahu siapa
yang pertama kali menemukan pipa bantu napas, tapi alat ini tidak hanya
berhasil memperpanjang umur manusia, namun juga membawa banyak masalah untuk
umat manusia.
Manusia perlu bernafas.
Untuk bernafas itu manusia perlu tenggorokan. Persoalan nafas ini jadi repot
kalau tenggorokan mampet sehingga oksigen nggak bisa ngalir. Misalnya infeksi
yang bikin kuman numpuk di dalem tenggorokan sehingga jadi batu. Atau tulang
leher patah dan serpihan tulangnya melintang di tengah tenggorokan. Intinya
yang bikin tenggorokan mampet sehingga penderita nggak bisa nafas. Maka
diciptakanlah pipa kecil dari plastik. Pipa ini akan dimasukin ke dalam
tenggorokan, dan jadi saluran untuk ngalirin oksigen. Sehingga penderita bisa
nafas melalui pipa ini meskipun tenggorokannya mampet.
Ketika penderita dapet
oksigen, maka jantungnya akan bisa berdetak. Detak jantung inilah yang dipahami
orang awam sebagai “umur” atau “nyawa”.
Persoalan jadi rumit
ketika orang cuman memahami urusan nafas separuh-paruh. Karena fungsi oksigen
sebetulnya bukan cuman bikin jantung berdetak, tapi yang lebih penting lagi
harus bisa ngalir ke otak. Jika otak nggak dapet oksigen, maka otak itu mati.
Padahal otak harus hidup, supaya penderita bisa gerakin kaki tangannya, supaya bisa
senyum, supaya bisa kedip. Pernah lihat orang di rumah sakit yang tiduran
terus, tapi matanya melek, dia nggak berespons tapi dia tetap bernafas? Dia
sudah mati otak, tapi dia masih punya pipa bantu nafas. Yang seperti ini bisa
hidup berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
Masalahnya, otak yang
mati nggak akan bisa sembuh seperti sedia kala. Karena sel saraf pada otak yang
sudah rusak tidak punya kemampuan untuk sembuh (tidak sama seperti sel tulang
yang kalau patah pun bisa nyambung lagi). Pipa bantu nafas hanya membantu
nafas, bukan menyembuhkan otak. Maka, orang yang sudah pernah koma akan sulit
bisa hidup seperti sedia kala (hidup itu maksudnya bisa berkedip, bisa senyum,
bisa mikir). Pipa itu memperpanjang nyawa, tapi tidak memberi hidup yang
berkualitas.
Pipa-pipaan ini jadi
polemik ketika masuk urusan pembiayaan. Untuk mengoperasikan pipa, butuh mesin
yang cukup rumit. Di beberapa negara maju semacam Amerika Serikat atau Inggris,
asuransi cuman bersedia membayari pipa selama kurun waktu tertentu. Selebihnya,
kalau keluarga penderita ngeyel supaya penggunaan pipa itu diperpanjang,
keluarganya harus bayar sendiri. Di Indonesia, ilustrasi penggunaan pipa bantu
napas selama satu hari adalah sekitar satu juta rupiah.
Selain direpotin urusan
duit, merawat pipa bantu napas juga nggak gampang. Penggunaan pipa bantu napas
lebih dari dua hari bisa bikin radang paru-paru. Sebabnya, memasukkan pipa ke
dalam tenggorokan bisa menciptakan jalan baru bagi kuman baru untuk masuk ke
dalam paru.
Nggak heran, banyak
dokter ngeri pakai pipa bantu napas lama-lama. Maka konsep eutanasia pun
ditawarkan. Konsep ini bertujuan mengakhiri nyawa penderita yang sulit
diselamatkan secara sengaja. Biasanya eutanasia ini ditujukan kepada penderita
yang sudah mati otak. Tujuan konsep ini sebetulnya baik, maksudnya
menghindarkan penderita dari bahaya pnemonia yang tercipta melalui penggunaan
alat bantu napas yang mubazir. Kenapa kok mubazir? Karena menggunakan alat
bantu napas tidak pernah akan bisa menghidupkan otaknya kembali, sehingga tidak
akan mengembalikan kualitas hidupnya. Bukannya membuat penderita menjadi baik,
tapi malah membuat penderita semakin menderita, dan sebetulnya, imbasnya juga
menimpa kualitas hidup keluarganya yang menanggungnya.
Di Belanda, eutanasia
sudah legal. Di Amerika, eutanasia juga sudah disetujui di beberapa negara
bagian. Indonesia masih malu-malu untuk mengakui eutanasia. Eutanasia di negeri
ini masih dianggap sama dengan membunuh orang.
Padahal sebetulnya,
rakyat Indonesia sudah sering melakukan eutanasia tanpa sadar. Pernah lihat
penderita sakit-sakitan tapi ditahan di rumah dan nggak dibawa ke rumah sakit
untuk dicarikan jalan pengobatan yang terbaik? Pernah lihat penderita
disarankan dokter untuk tetap di rumah sakit untuk perbaikan kondisi tapi
dipaksa keluarganya untuk pulang dengan alasan nggak ada yang menjaga? Itu juga
eutanasia. Mengakhiri hidup orang. Meskipun melakukannya dengan pelan-pelan..
Saya nulis ini setelah baca tulisannya Kimi Rizkika di sini