Wednesday, March 26, 2014

Percaya Sama Pesawat?

Baiklah, saya mau mengaku dosa sedikit.
Ini bukan dosa pribadi, sebenernya ini dosa rame-rame.

Pada tahun 1992, dalam sebuah perjalanan darat dari Parapat menuju Danau Maninjau, di tengah-tengah hutan Bukit Barisan di sebelah selatan kawasan Sumatera Utara, nyokap saya minta supir kami berhenti karena di pinggir jalan ada sebuah warung kopi yang jualan burung.

Bonyok saya waktu itu tergila-gila pada burung. Mereka bisa kepincut pada burung cuman gegara denger bunyi kicaunya. Saya? Saya jelas tidak berminat pada apapun yang tidak bisa bicara tapi jagoan ngeluarin tokai. Lalu bonyok saya mutusin untuk beli burung itu.

Saya terperangah dan bingung. Kami sedang liburan, bagaimana kami akan membawa burung itu ke Bandung? Dikirim pake Tiki??



Tapi nyokap saya selalu punya ide-ide gila, dan saya adalah anak saleh yang nggak mau melawan (atau setidaknya tidak mau ketiban susah). Jadi saya biarkan nyokap mengurung burung itu dalam keranjang souvenir kecil, lalu kami melanjutkan perjalanan ke Danau Maninjau.

Kami berhenti di Bukittinggi, nginap dua malam. Dan kami lanjut ke Padang, nginap semalam. Petugas-petugas hotel yang kami inapin nggak curiga, mungkin juga kicauan burung itu nggak terlalu keras, karena dos-q masih anak-anak. Tapi ketika kami memasuki bandara Tabing untuk naik pesawat pulang ke Bandung, saya komat-kamit baca al-fatihah supaya burung itu nggak berontak waktu masuk mesin sensor bandara. Saya nggak takut burung itu disita, saya cuman takut kami nggak boleh naik pesawat.

Tahu hal yang gila? Petugas bandara nggak lihat burung itu! Keranjang souvenir itu masuk ke kabin pesawat, lalu pesawat itu terbang, dan..burung itu mendarat bersama kami di Bandung. It's a lucky bird.

Sampek hari ini, saya masih mengingat peristiwa itu, dan saya mencatat dalam hati, bahwa saya nggak akan pernah percaya kepada petugas-petugas di bandara Tabing. Mereka nggak disiplin!

Tanpa harus menyebutkan bahwa saya sedikit marah kepada nyokap saya yang nekat menyelundupkan burung itu naik pesawat, saya sangat menyadari waktu itu bahwa tindakan kami sangat berbahaya. Tutup keranjang souvenir itu bisa aja terbuka. Lalu burung itu bisa aja terbang mencolot keluar dan miber di ruang kabin. Sebelum dia sempat membuat penumpang menjerit dan meresahkan masyarakat, dia bisa aja terbang masuk ke ruang kokpit dan menyapa pilot yang lagi konsentrasi nyetir pesawat. Pilot bisa aja kaget dan kehilangan refleks, lalu pesawat itu bisa aja celaka dan mungkin saya nggak akan pernah menulis blog ini.

Sekarang nyokap saya sudah lebih baik, tidak lagi miara burung (karena ngasih makan saya yang rakus ini aja udah susah, apalagi ditambah kudu ngasih makan burung), dan sepertinya sudah menyadari bahwa percuma aja ngajarin anak-anaknya berdoa sebelom take off kalau masih berani nyelundupin hewan ke dalam kabin. Tapi kami masih marah ke bokap kalau bokap naik pesawat dan lupa matiin HP-nya. Atau kami masih melirik judes kepada penumpang lain yang sudah semangat update status di HP ketika pesawat sudah mendarat padahal belom parkir.

Bahkan saya masih melempar tatapan mencemooh di ruang check in tatkala orang masih ngantre melewati garis kuning. Dalem hati saya udah ngenyek, "Ndeso tenan kau ini. Situ ndak liat ya flight attendant-nya masih berusaha nyocokin muka si penumpang dengan KTP-nya? Kalo ternyata dia kehilangan konsentrasi gegara elu ngerusuhin dia dan ternyata si penumpang itu adalah teroris yang mau nyelakain pesawat, gimana?"

Sewaktu kemaren Najib Razak ngumumin bahwa pesawat Malaysia Airlines yang raib itu besar kemungkinan udah terjun ke Samudera Hindia sebelah selatan, saya nangis sembari meluk HP. Alhamdulillah saya nggak punya relasi yang terbang pakai pesawat naas itu. Saya nangis karena membayangkan keluarga yang kehilangan penumpang di dalem pesawat itu. Saya mbatin, orang pesawat itu cuman mau terbang dari Kuala Lumpur ke Beijing, kok dari Vietnam malah jadi muter nyeberang Selat Malaka dan masuk Samudera Hindia. Kan jauh banget? Kenapa pilotnya muterin pesawatnya sejauh itu? Apakah dia mabok? Atau..dia dipaksa seseorang?

Dua kemungkinan itu sama mengerikannya. Saya yakin nggak ada maskapai di dunia ini yang tidak screening kesehatan kejiwaan pilot-pilotnya, dan pasti Malaysia Airlines sudah melalui prosedur itu. Kemungkinan orang mengidap psikopatik yang tidak terdeteksi adalah sangat kecil, dan bila yang tidak terdeteksi ini adalah seorang pilot, maka itu musibah besar buat penumpang-penumpang tidak bersalah yang dibawanya.

Tapi dibajak? Kita bisa mencegahnya. Mulai dari tertib kalau mau naik pesawat. Ngantre yang tertib di loket check in. Jangan marah kalau petugasnya berlama-lama nyocok-nyocokin muka kita dengan foto di paspor. (Sambil inget kalau pas foto saya di KTP masih pake pas foto waktu kuliah. Soalnya itu muka saya yang paling cantik :p) Takut telat? Kan sudah disuruh check in itu paling telat 45 menit sebelom naik pesawat?

Dan jangan bawa cairan seliter masuk ke kabin. Jangan bawa pisau masuk kabin cuman gara-gara kepingin ngupas mangga selama naik pesawat. Dan jangan bawa hewan masuk ke kabin, demi Tuhan! Duh, nyokap gw.. *sembunyi di balik jasnya pilot*


Semoga Malaysia Airlines dibimbing Tuhan untuk menjaga pilot-pilot dan penumpang-penumpangnya pada kesempatan lain. Dan untuk penumpang-penumpang MH-370 yang hilang bersama pesawat itu, bila mereka selamat, semoga Tuhan melindungi mereka; dan bila mereka sudah meninggal, semoga mereka meninggal dengan cara yang paling tidak menyakitkan. Semoga otoritas yang berwenang dan para ilmuwan bisa segera nemu pesawat ini dan mengevakuasi korban yang meninggal atau masih hidup. Karena kalau mereka nggak bisa menjelaskan kenapa pesawat ini bisa celaka, maka bagaimana lagi kita mau percaya bahwa naik pesawat masih merupakan moda transportasi yang aman?
http://laurentina.wordpress.com
http://georgetterox.blogspot.com