Saturday, January 2, 2010

Denda buat SMS-an

Denda Rp 750.000,- menanti buat orang-orang yang berani nyetir sambil megang HP, entah itu lagi nelfon atau cuman sekedar SMS-an. Peraturannya akan disosialisasikan polisi-polisi Indonesia sedianya selama tiga bulan ini. Artinya, lewat dari tiga bulan lagi, siapa-siapa yang berani HP-an sambil nyetir, harap siapkan Rp 750.000,- di tempat koin mobilnya.

Gw cuman iseng nanya, “Kenapa baru sekarang?”

Sewaktu peraturan ini baru disosialisasikan juga, sebuah stasiun tivi meliput para pengguna jalan dan nanyain pendapat mereka. Rata-rata orang berpendapat positif coz mereka tahu bahwa nyetir sambil SMS-an bisa beresiko kecelakaan. Mulai dari nabrak truk gandeng, sampai nabrak babi hutan lewat.

Tapi gw tertarik dengan pendapat seorang cewek yang bilang begini, “Menurut saya sebenarnya menyetir sambil SMS-an itu nggak akan bikin celaka ya, asalkan orangnya itu udah biasa.”

Gw mengerutkan kening. Udah biasa? Coba definisikan “udah biasa”. Nyetir sambil SMS dan menjadikannya kebiasaan rutin, apakah lantas membuat orang tersebut mahir nyetir mobil sembari SMS-an tanpa beresiko mengakibatkan kecelakaan?

Beberapa orang memang cukup beruntung ditakdirkan memiliki kemampuan “multitasking”. Misalnya, makan sambel sembari ngegosip. Chatting sambil nyusuin bayi. Bikin kopi sambil nggoreng tempe. Termasuk juga nyetir sambil SMS-an. Tapi dari contoh-contoh di atas, berapa banyak yang kita tahu tidak akan membuyarkan konsentrasi terhadap pekerjaan lantaran pikirannya bercabang ke mana-mana?

Yang jadi masalah adalah, kalau gara-gara pengendaranya harus bagi-bagi konsentrasi antara melihat jalan dan melihat layar HP, maka dia tidak akan tahu bahwa ada babi hutan lewat. Dan babi itu bisa celaka cuman gara-gara pengendara mobilnya lagi ngelihat layar HP waktu dia ketabrak.

*Ngomong-ngomong, Vic, kenapa sih contohnya harus babi hutan?*

(Soalnya kalau contohnya manusia ketabrak kan

serem..)


Bagaimana dengan faktor kebiasaan? Nah, ini yang harus diluruskan. Orang terbiasa karena dia terlatih. Orang mampu nyetir sambil SMS-an karena dia biasa melakukannya. Yang jadi problem, kemampuan orang itu ada batasnya. Semakin berumur, otaknya semakin uzur, maka kemampuannya untuk membagi konsentrasi akan semakin berkurang. Siyalnya sifat egoisme karena merasa “sudah terbiasa” itu tidak akan berkurang seiring dengan berjalannya umur. Pendek kata, makin tua, makin tidak sadarlah dia bahwa dia udah nggak sebagus dulu dalam urusan nyetir sambil SMS-an, gitu lho.


Yang repot, kalau sudah “merasa terbiasa”, lama-lama dia jadi takabur, dan nggak mau sadar bahwa lama-lama kemampuannya berkurang.


Jadi, selagi masih muda dan kita masih sadar bahwa suatu hari nanti kemampuan kita berkonsentrasi akan semakin berkurang, lebih baik berhenti nyetir sembari SMS-an, sebelum kita mulai menabrak orang atau babi hutan. Apalagi polisi sekarang makin nggak mau tahu aja, ada orang ketabrak mobil, tetap aja pengendara mobilnya yang dipenjara biarpun orangnya yang bego nyebrang jalan sembarangan. Padahal kalau kita dipenjara, siapa yang mau ngitik-ngitik suami di rumah, siapa yang mau mijitin nyokap di rumah?


Foto gw jepret empat hari lalu. Supir angkotnya SMS-an pas angkot lagi berhenti di Jalan Cihampelas.