Monday, January 11, 2010

Mencopot Status Sosial

Semalam, seorang ibu curhat di tivi bahwa anaknya yang udah kerja di bank dengan penghasilan cukup akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dan berusaha di bidang lain. Sang ibu keberatan kenapa anaknya harus meninggalkan pekerjaan itu. Menurut dia, dia kan berasal dari “kampung”, jadi dia berpendapat kalau seseorang kerja di bank, orang itu akan dapet status sosial yang tinggi. (Sampai di sini, gw agak bingung mengkorelasikan antara “berasal dari kampung” dengan “berpikir bahwa kerja di bank = status sosial tinggi”).

Apakah kerja di bank itu = status sosial tinggi? Kalau seseorang kerja jadi tukang sapu di bank, atau jadi satpam di bank, itu status sosialnya tinggi, nggak? Sebenarnya status sosial tinggi itu apa sih?

Hasrat orang tua untuk punya anak yang memeluk status sosial tinggi itu sebenarnya udah dibentuk semenjak kecil. Coba bayangin, anak dimotivasi supaya jadi ranking 1 di SD -> supaya keterima di SMP favorit -> gampang masuk SMA favorit-> gampang masuk kampus bereputasi bagus -> mudah dapet pekerjaan -> dapet kedudukan -> status sosial tinggi. Jalur ini familiar banget buat gw, apakah ini familiar juga buat Anda?

Pengalaman ngobatin pasien-pasien berjabatan tinggi bikin gw percaya bahwa kedudukan nggak selalu bisa menolong kita dari bencana kesakitan. Gw pernah didatengin seorang pensiunan kolonel di sebuah kursi roda yang mengeluh sakit punggung. Dia ngidap hernia nucleous pulposus, yang menyebabkan dia nggak bisa berdiri buat gendong cucunya yang masih balita. Kata boss gw yang dokter bedah saraf, si pasien kudu dioperasi supaya punggungnya normal lagi. Riwayat medisnya bilang dia sempat cari pertolongan ke rumah sakit bagus di kota, sebelum akhirnya dia memilih dioperasi di rumah sakit sederhana lantaran asuransi kesehatan pegawainya berlaku di situ. Gw paham bagaimana preferensi seseorang dalam memilih tempat pelayanan kesehatan bisa berubah kalau urusannya sudah menyangkut uang.

Yang gw pikirkan, orang kalau udah jadi kolonel mestinya ya udah berjasa besar buat negara, mbok ya menikmati hasil kerjanya dengan pelayanan kesehatan di tempat yang bagus seperti hotel, bukan akhirnya bergantung sama asuransi. (Gw nggak bilang bergantung sama asuransi kesehatan itu jelek lho ya. Tapi kalau lagi ngomongin kualitas pelayanan hospitality di negeri kita, jangan berharap sama asuransi kesehatan.) Status sosial yang tinggi, menurut gw ya dirawat dengan pelayanan kesehatan yang kualitasnya paling bagus secara total, mulai dari konsultasi pertama sampai pemulihan operasi terakhir. Tapi nampaknya Pak Kolonel belum termasuk golongan yang mampu untuk itu. Padahal status sosialnya sudah tinggi, kan? Dan apa sih yang diinginkan laki-laki pada usia segitu? Meluk cucu kan?

Nyambung pada kasus anaknya si ibu, gw terhenyak jika orang berpikir bahwa berusaha sendiri tidak akan bikin status sosial tinggi. Aneh. Justru pasien-pasien gw yang rata-rata menyatakan sanggup bayar pelayanan yang berkualitas tinggi, malah berasal dari golongan pengusaha, bukan dari golongan pegawai. Mereka rata-rata boss, bukan karyawan.

Tulisan ini bukan buat mengkontroversikan penyesalan si ibu karena anaknya lebih seneng jadi pengusaha ketimbang jadi pegawai bank. Tapi gw menggarisbawahi, “Mengapa si ibu harus menyesal?” Anak kepingin jadi boss, mbok ya mesti didukung, bukan diharapkan jadi pegawai. Pada dasarnya, kalau seseorang nggak enjoy kerja di situ, (entah itu bank, atau angkatan bersenjata, atau kantor entah apalah), biarpun dia sampai di tahap menjadi direktur pun (yang notabenenya pasti status sosialnya tinggi), maka sampai kapanpun dia nggak akan pernah bahagia. Pertanyaannya sekarang, kita mau ngejar bahagia, atau cuman mau ngejar status sosial yang tinggi?

Dan orang-orang yang pinter akan berkata, kenapa kita nggak dapet dua-duanya aja, ya bahagia, ya status sosial tinggi? Jawaban gw, kenapa tidak? Dan untuk menjadi bahagia dengan status sosial tinggi itu, tidak perlu setengah mati sekolah hanya supaya diterima jadi pegawai kan?

Jangan pernah mengharapkan anak berhasil di bidang yang Anda inginkan. Sebaliknya, dukunglah dia berhasil di bidang yang dia inginkan. Boss yang paling pantas buat diri kita adalah diri kita sendiri, jangan mengharapkan orang lain untuk jadi boss buat diri kita.