Friday, January 15, 2010

Hak untuk Cantik

Sewaktu gw kerja di Cali tahun lalu, gw sering lihat perempuan-perempuan Dayak jalan berkilo-kilo ngangkut kayu bakar di punggungnya. Pemandangan yang unik, soalnya mukanya pakai bedak gitu, semacam bedak dari beras, yang ditaburinnya tuebel banget. Tampangnya jadi nggak jelas, seperti pakai masker tapi nggak rata, seperti pakai bedak tabur tapi kayaknya nggak juga. Sayangnya gw nggak pernah bisa motret mereka dengan jelas, coz nampaknya mereka selalu bisa menghindar tiap kali gw pasang kamera (waktu itu gw belum jagoan candid). Gw nanya ke perawat gw, kenapa sih emak-emak Dayak kalau pakai bedak nggak rata, padahal kayaknya mereka cukup duitlah buat beli cermin biarpun cuman seupil doang. Kata perawat gw, “Memang cara mereka dandan begitu, Dok. Katanya pakai bedak itu biar cantik, dan juga untuk kesehatan kulit wajah..”

Di Pangalengan, sebelah selatan Bandung, kadang-kadang gw juga lihat emak-emak petani yang kerja di kebun teh, panas-panas di bawah terik matahari. Lagi sibuk-sibuknya ngurusin daun teh itu, kadang-kadang sempat-sempatnya mereka nyuri-nyuri kesempatan buat ngaca di cermin kecil dan ngolesin lipstik. Bayangin, di kebon teh, masih nekat pasang make up! Gw aja nolak mentah-mentah ide pasang make up di muka umum, tapi ibu-ibu ini dengan merdekanya pakai lipstik di kebon teh. Emang siapa yang mau lihat sih?

Tapi kedua cerita di atas, memberi tahu gw fenomena penting tentang kesamaan perempuan di belahan negeri manapun: Perempuan nggak bisa berhenti dandan, dalam keadaan seprihatin apapun. Beberapa perempuan tidak seperti gw yang cukup beruntung bisa hidup nyaman tanpa takut keringetan, coz mereka mesti kerja keras bagai kuda, dicambuk dan didera, kurasa berat beban hidupku (halah..niru-niru Koes Plus!). Namun mereka tetap berusaha tampil cantik dan nggak mau muka mereka seperti jeruk purut, biarpun mereka mesti kerja keras berjalan jauh manggul kayu bakar dan bergerilya panas-panas memanen daun teh di kebon.

Apalagi perempuan-perempuan yang nyambi jadi narapidana di penjara. Mereka juga kepingin cantik.

Oleh sebab itu, gw bisa mengerti kenapa Artalyta Suryani bisa sampai nekat mendatangkan dokter kulit supaya bisa tetap cantik biarpun dos-q kudu mendekam di penjara Pondok Bambu Jakarta. Tanpa menyingkirkan rasa tidak adil karena dos-q menempati sel penjara yang tampangnya lebih mewah ketimbang kamar tidur gw sendiri, gw harus mengakui bahwa usaha Artalyta untuk tetap rajin facial di penjara adalah sangat manusiawi, coz dia seorang perempuan. Cewek nggak selayaknya punya tampang asem seperti acar. Bahkan meskipun dia dipenjara seumur hidup, mereka juga berhak dandan lengkap, apakah itu cuman sekedar mandi luluran di kamar mandi penjara, atau yang versi kakap seperti pakai bulu mata palsu yang ada glitter-nya. Memangnya siapa yang mau lihat perempuan dandan? Wah, itu pemahaman yang salah. Perempuan berdandan bukan buat dilihat laki-laki, bukan buat ajang pamer kepada sesama perempuan lainnya, tapi itu adalah perilaku perempuan yang manusiawi untuk menghargai dirinya sendiri.

Jangankan perempuan, laki-laki juga boleh dandan kok. Mungkin dalam bentuk lain, misalnya nyukur jenggot atau pakai parfum sehabis mandi. Boleh dong laki-laki yang lagi jadi narapidana tetap kelihatan ganteng seperti Brad Pitt?

Gw dengar, hasil inspeksi dadakan di Rumah Tahanan Pondok Bambu telah menyebabkan Artalyta Suryani mesti rela dipindahin ke rumah tahanan lain. Tanpa melupakan perbuatan suapnya kepada jaksa tahun lalu, gw turut simpati lantaran perbuatannya sedang facial di kamar tahanannya dipolitisir berlebihan. Perempuan berhak untuk cantik, karena itu perempuan berhak merawat dirinya semampunya, coz begitulah caranya menghargai anugrah atas wajah yang dikaruniakan Tuhan kepadanya.