Kalau ada orang yang bilang bahwa di
Indonesia nggak ada rasisme, orang itu pasti nggak pernah berurusan dengan kerjaan multinasional.
Ada saat-saat di mana orang tidak dihargai di
Indonesia, kalau bersangkutan dengan warna kulitnya, penampilannya, atau sekedar dari bahasa yang dia ucapkan.
Akhirnya, kemaren gw kopi darat sama
Ria Sugiarto. Rada mimpi sih bisa ketemu blogger asal Limpung ini, kalau selama ini kita cuman ngobrol via blog dan via Facebook doang, maka kali ini kita betul-betul bisa ngobrol mata ketemu mata, hahaha! Ria sedang ke
Bandung weekend ini, jadi kita pun kopi darat di sebuah warung pizza di tengah
kota. Makasih dah ngajak ketemuan ya, Ria!
Nah, cerita ini dimulai dari usaha Ria yang berusaha pesan hotel-hotel buat diinepin di
Bandung, via telepon interlokal dari
Semarang. Kebetulan hotel yang diincarnya adalah hotel-hotel yang biasa diinepin oleh backpacker bule gitu, jadi resepsionis yang ngangkat teleponnya ngoceh pakai bahasa Inggris. Ria pun nyebutin kalau dos-q berniat ke
Bandung pada tanggal sekian dan mau pesan kamar di situ. Apa daya, si resepsionis menyahut bahwa Ria nggak bisa nginep di situ. Soalnya, menurut si resepsionis, hotelnya cuman buat nerima tamu dari warga negara asing!
Apa-apaan ini? Mosok yang boleh nginep di situ cuman tamu bule doang? Padahal
kan hotelnya letaknya di
Indonesia, staf yang meladenin juga orang
Indonesia, kenapa nggak mau nerima tamu orang
Indonesia?
Ria sempat minta bantuan gw buat nyariin hotel lain. Tapi selain itu juga Ria tetap bersikukuh mau nginep di hotel sok-eksklusif-khusus-bule itu, soalnya
kan letaknya cukup sesuai dengan keperluan Ria. Jadi besoknya dia telfon lagi tuh hotel, tapi dia siasatin lain. Ria nelfon sambil ngomong cas-cis-cus pakai bahasa linggis, sebutin nama aselinya, mau datang kapan, tanya harga. Sebagai seorang dokter dan backpacker mahir, ternyata bahasa linggis itu ampuh banget buat memukul mental pegawai sombong manapun.
Apa yang terjadi? Setelah dibombardir pakai bahasa linggisnya Ria, akhirnya si resepsionis nanya, “Mbak, bisa bicara bahasa
Indonesia, nggak?”
Jawab Ria, “BISAA!”
Singkat cerita, Ria bisa nginep di hotel itu. Dengan tarif normal (Iya kan, Ria? Awas kalau mereka pasang tarif tamu
Indonesia lebih mahal ketimbang tarif tamu bule!).
Gw ketawa terbahak-bahak waktu Ria cerita itu ke gw. Perasaan sewot dan merasa didiskriminasikan juga meliputi gw.
Ini sebenarnya hampir sama dengan sebuah artikel yang gw baca di koran minggu lalu. Seorang konsultan majalah gaya hidup keluaran Jakarta, sebut aja namanya Sam, beberapa bulan lalu minta sebuah resort mewah di Bali, supaya majalahnya boleh memprofilisasi resort itu di edisinya. Lalu manajemen resort itu bilang, mereka baru ngijinin resort itu ditampilkan di majalahnya Sam, setelah Tahun Baru. (Hm, aneh ya? Bukannya makin cepat sebuah hotel ditampilkan di majalah, maka makin banyak tamu yang akan datang nginep di situ?)
Lalu, entah sekitar bulan Oktober atau November lalu, nggak sengaja Sam baca sebuah majalah keluaran luar negeri, dan ternyata resort itu tampil di majalah itu. Resort itu ternyata lebih memprioritaskan ditampilkan di majalah keluaran luar negeri ketimbang di majalah keluaran lokal!
Gw rasa, mungkin ini taktiknya. Kuatirnya kalau resort itu tampil duluan di majalah local, maka tamu-tamu yang pesan kamar duluan sebelum Tahun Baru adalah tamu warga negara Indonesia. Akibatnya kamar akan penuh dengan tamu-tamu yang bayar pakai rupiah, sedangkan turis-turis yang pakai dolar nggak akan kebagian kamar. Pemasukan dolar lebih sedikit, dan pemasaran atas pelayanan mereka yang mungkin akan disiarkan oleh tamu-tamu bule juga akan lebih sedikit. Bandingkan kalau tamu-tamu yang pesan kamar duluan adalah tamu-tamu bule. Pulang dari liburan, tamu-tamu bule itu akan bernyanyi ke teman-teman di negara mereka supaya kalau ke Bali nginepnya di resort itu aja. Pemasaran internasional yang efisien, bukan?
Tapi buat gw, kedua cerita di atas, ujung-ujung kesimpulannya sama: pemilik-pemilik hotel ini lebih memprioritaskan konsumen asing ketimbang konsumen dari negeri sendiri. Siapa sih yang bilang bahwa pelanggan adalah raja?
Inikah rasisme? Ria dibedakan hanya karena dia ngomong pakai logat Jawa, bukan pakai logat Bavaria. Sam dibedakan hanya karena majalahnya keluaran Jakarta, bukan keluaran Oz. Mungkin ini bukan rasisme. Mungkin lebih tepatnya, ini adalah mental inlander yang masih terus dipiara oleh sejumlah pengusaha penginapan di Indonesia.
Bagaimana dengan Anda, blogger-blogger pengusaha? Apakah Anda lebih semangat menggarap pasar luar negeri sampai-sampai nggak menyediakan tempat buat pasar negeri sendiri?