Kata orang, banyak anak itu banyak rejeki. Tapi gw nggak pernah percaya pepatah itu di rumah gw cuman ada dua anak, tapi adek ngabisin stick roll lebih banyak ketimbang gw sampai-sampai gw hampir nggak kebagian.
Mungkin lebih tepatnya, banyak anak berarti akan banyak cara untuk selamat. Di ajaran agama gw, kesempatan seorang manusia untuk dapet pahala akan putus begitu dia meninggal, sehingga tinggal timbangan antara amal baik dan amal jeleknya aja yng akan mutusin apakah dia akan menghabiskan masa akhiratnya di surga atau malah nyungsep di neraka. Kesempatan untuk menghapuskan dosanya, sesudah dirinya meninggal, hanya bisa difasilitasi oleh anak-anaknya yang masih hidup dan mendoakan sang orang tua supaya dosa-dosa sang orang tua diampunin. Itulah sebabnya makin banyak anak, berarti makin banyak kesempatan suara dari anak yang memohon supaya orangtuanya selamat di dunia akhirat. Ini seperti menyelamatkan kontestan favorit dari Zona Tidak Aman di Indonesia Idol.
Seharusnya begitu kan? Kalau bukan begitu, apa manfaatnya punya anak banyak? Jangan bilang karena orang kepingin rumahnya rame macam Dufan setiap hari.
***
Grandma gw berumur 85 tahun, dan masih punya sembilan orang anak yang semuanya udah menikah. Cucu-cucunya sekarang ada 29 orang, dan gw yang nomer 16. Seharusnya hidupnya meriah.
Semenjak Grandpa gw meninggal tujuh tahun yang lalu, Grandma gw kesepian. Sehari-hari hidupnya cuman ditemenin asisten pribadi. Gw sangat menyesal Grandma gw nggak punya hobi yang cukup membuatnya sibuk untuk mengalihkan kesepiannya. Kesembilan anaknya sering datang ngunjungin, tapi Grandma gw cuman kepingin paman-paman dan tante-tante gw tinggal di situ. Jelas nggak bisalah. Anak-anak udah punya keluarga sendiri.
Kadang-kadang gw melihat rasa bersalah di mata anak-anak Grandma gw coz mereka lebih memilih ngurusin keluarga mereka ketimbang tinggal bareng Grandma. Tapi bukankah udah firman Tuhan begitu? Dia berfirman kepada Adam dan Hawa supaya turun dari surga ke dunia dan beranak-pinak. Artinya manusia memang harus punya keturunan. Jadi sah dong kalau mereka lebih mengutamakan anak ketimbang orang tua?
Tentu saja kita semua tahu jalan tengahnya. Jika kau udah punya anak, nggak berarti kau boleh melupakan orangtuamu. Kalau perlu, jika kau udah dewasa, milikilah rumahmu sendiri untuk istri/suami dan anak-anakmu, dan bawa orangtuamu untuk tinggal di rumahmu juga. Gw sendiri ngidam, kalau gw udah punya suami nanti, gw kepingin sekali punya rumah dengan dua pavilyun. Satu pavilyun buat bonyok gw, satu pavilyun lagi buat mertua gw.
Di dunia nyata, itu tidak gampang. Salah satu pakde gw punya rumah yang letaknya persis di sebelah rumah gw, tapi ternyata itu tidak membunuh kesepian Grandma gw. Soalnya, pakde gw dan istrinya kerja dari pagi sampai malam, jadi hampir nggak pernah di rumah. Sepupu-sepupu gw udah pada sekolah dan sibuk dengan dunia remajanya sendiri. Siapa mau nemenin Grandma gw?
Kenapa orang tua mengeluh kesepian ketika ditinggal anak-anaknya yang berkeluarga sendiri? Apakah dia lupa, bahwa dia sendiri yang dulu semangat menyuruh anaknya menikah? Memangnya siapa sih orang di sekitar kita yang paling sering nyap nyap nyuruh-nyuruh kawin? Orang tua, kan? Jadi ketika anaknya itu sudah punya keluarga sendiri, kenapa dirinya harus merasa kesepian?
Orang tua selalu bilang, "Menikahlah. Jangan pikirkan Mami/Papi. Mami/Papi bisa jaga diri sendiri."
Tapi ketika orang tua sudah renta, mereka akan bilang, "Anak-anakku sudah minggat semua dan mereka nggak butuh aku lagi."
Lalu orang tua yang kesepian akan menghabiskan hari-hari tuanya dengan mengamuki anak-anaknya yang selalu bekerja hingga nggak pernah ada di rumah. Mereka menjadi pribadi yang mudah tersinggung, nangisan, dan pemarah. Dan para anak, akhirnya akan menyesal karena pernah meninggalkan rumah demi menuruti fitrah manusia untuk menikah dan membentuk keluarga.
Orang-orang warga senior itu (sebutan gw buat lansia), kalau ngamuk bisa sampai nggak karu-karuan. Kolega gw, bulan lalu, ditinggal mati neneknya, lantaran aspirasi makanan. Wanita malang itu sedang makan, sambil marah-marah, lalu keselek. Demi menolong, rumah sakit terpaksa masukin slang via hidung si nenek supaya nenek itu tetap bisa makan dan makanan pun dimasukin lewat slang itu.
Gw menulis ini, coz kemaren gw baru aja dapat ide bahwa mungkin aja gw harus ninggalin orang tua gw sendiri suatu saat nanti, untuk berbakti kepada suami gw. Semoga mereka cukup pengertian nanti, bahwa apa yang gw lakukan ujung-ujungnya hanya karena gw mau mereka bahagia. Gw menikah karena Tuhan menyuruh begitu, karena bonyok gw mau begitu, dan supaya anak gw sah di mata hukum. Jika gw nggak punya norma agama, hidup selibat bukanlah ide buruk buat gw.
Yang di atas itu Emily Grillot, tinggal di Ohio, tersenyum lebar di depan foto-foto anak-cucunya kepada kamera Jodi Cobb, untuk National Geographic. Orang itu, makin tua seharusnya makin bahagia, bukan jadi depresi.