Friday, September 11, 2009

Hati Belah Jadi Dua


Ada beberapa bagian tertentu dari Lebaran yang ternyata nggak selalu menyenangkan buat sebagian orang, coz malah membuat mereka harus merelakan sesuatu.

Sepupu gw, Nay, seumur hidup hampir selalu merayakan Lebaran di rumahnya bareng bonyoknya di Malang. Kadang-kadang, kalo mereka ada dana lebih, mereka mudik Lebaran ke rumah Grandma kami di Ciputat, Jakarta, mungkin setiap 3-5 tahun sekali. Sekitar dua tahun lalu dia menikah, dan dapet suami orang Semarang. Itu mengubah pola kehidupannya dengan drastis; sejak itu dia dan suaminya selalu berada di Malang buat solat Ied, lalu siangnya sudah nyetir lagi ke Semarang, supaya mereka bisa berada di rumah bonyoknya si suami pada hari Lebaran kedua. Dan kita tau sendiri Semarang-Malang itu jaraknya jauh bukan main.

Lain lagi sepupu gw yang satu lagi, Dewo. Semenjak menikah 12 tahun lalu, dia kerja di Balikpapan. Mudik ke rumah BuDe gw di Jakarta adalah kemewahan buat dia, sama mewahnya dengan mudik ke rumah mertuanya di Gorontalo. Akibatnya, kalo Lebaran, dia lebih sering mudik ke Gorontalo ketimbang ke Jakarta.

Bokap gw sendiri, karena alasan geografis, lebih sering bawa keluarga kami ber-Lebaran di Ciputat, ketimbang ke rumah bonyoknya di Kreyongan, Jawa Timur. Nyetir Bandung-Kreyongan adalah perjuangan, perjalanannya minimal dua hari waktu bokap gw dulu masih muda, dan sekarang jadi tiga hari dengan nyetir ngos-ngosan. Makanya kami cuman mudik Lebaran ke rumah Grandma gw di Kreyongan beberapa tahun sekali. Akhir-akhir ini gw memohon-mohon supaya kalo mudik ke Kreyongan kita naik pesawat aja, supaya waktu tiba di sana tampang kita masih segar-segar, bukan kucel karena bergulat di jalan.

Gw mulai sadar bahwa gw nggak pernah merasakan perasaan bokap gw waktu Lebaran. Apakah bokap gw rela ber-Lebaran di rumah mertuanya, sementara bonyoknya sendiri cuman berduaan di Kreyongan nun jauh di sana? Apakah bokap gw kangen sama bonyoknya dan kepingin mencium tangan mereka di hari Lebaran? Gw nggak pernah mikirin itu, coz gw terlalu sibuk mengganyang ayam lontong yang dimasak di rumah Grandma gw di Ciputat.

Lalu gw sadar fase itu akan datang pada tiap manusia. Pada dasarnya manusia cuman punya sepasang orang tua, cuman ada dua paha yang harus disungkemi pada waktu Lebaran. Lalu manusia tumbuh dewasa, menikah, dan setelah itu menanggung konsekuensi untuk membaktikan dirinya kepada dua pasang orang tua. Maka bertambahlah menjadi empat paha yang harus disungkemi pada waktu Lebaran. Masalah datang ketika dua pasang orang tua itu tinggalnya berjauhan, kau jadi nggak bisa sungkem pada keduanya sekaligus. Dan saat itulah kau harus belajar merelakan.

Bokap gw harus rela nggak sungkem ke bonyoknya, coz harus Lebaran di rumah mertuanya. Dewo juga terpaksa merelakan nggak mudik ke rumah nyokapnya, coz kudu mudik di rumah mertuanya. Suaminya Nay juga rela menunda sungkem sama bonyoknya, supaya bisa nemenin Nay sungkem sama BuDe gw dulu. Nanti akan ada tiba saatnya gantian, di mana nyokap gw, Nay, dan bininya Dewo,harus rela menunda Lebaran di rumah bonyok masing-masing.

Mendadak, ketemu bonyok pada hari Lebaran aja udah cukup mewah. Belum tentu mereka bisa ketemu sepupu-sepupu yang main sama mereka sejak ingusan. Gw merasakan sendiri, kedekatan gw dengan sepupu-sepupu gw mulai renggang sejak mereka punya mertua. Masih untung ada Facebook, jadi sepupu-sepupu gw dan gw masih bisa cela-celaan. Yang nggak punya Facebook, udah lupa ini mukanya siapa.

Gw tau setiap manusia akan tumbuh dewasa. Nanti manusia akan harus milih mau Lebaran di orang tua yang mana. Tapi ternyata efeknya juga mengimbas berupa kehilangan kedekatan mereka dengan para paman, tante, dan sepupu mereka.

Dan mungkin, gw juga akan seperti itu. Umur gw sudah 27 tahun. Gw nggak tau kapan mau punya mertua, mungkin dua-tiga tahun lagi, mungkin satu tahun lagi, mungkin lima tahun lagi, mungkin sepuluh tahun lagi. Akan tiba di mana gw harus milih, mau ikut suami gw ber-Lebaran di rumah bonyoknya, atau gw yang merayu suami gw supaya tetap Lebaran sama bonyok gw aja. Itu juga belum ditambah problem kalo bonyok gw rebutan antara Lebaran di Ciputat atau mau Lebaran di Kreyongan.

Ini menyakitkan. Ada orang tua yang harus dikorbankan. Nggak ketemu sepupu. Nggak ketemu nenek. Padahal kalo nggak Lebaran juga belum tentu bakalan ketemu mereka. Apa ini yang dimaksud bahwa anak memang meninggalkan keluarga yang membesarkan mereka setelah mereka punya keluarga sendiri?

Makanya gw nggak pernah setuju kalo pernikahan beda agama itu dilarang. Pernikahan beda agama justru menyelesaikan urusan rebutan kunjungan anak pada hari raya. Enak kan, cuman sepasang orangtua aja yang Lebaran, yang satunya enggak. Nanti pas orangtua yang satunya lagi merayakan hari raya mereka, anaknya tinggal dateng. Jadi makan besarnya dua kali. Untung dong? :-p