Monday, September 21, 2009

Pelajaran Pelarian


Yang bilang Jakarta nggak macet pas Lebaran, itu bo'ong. Yang bilang arus mudik berhenti pada malam takbiran, itu juga bo'ong.

Bokap gw ngeyel kepingin jalan-jalan. Mudik ke Grandma di Ciputat cukup satu malam aja. Selesai sungkem sama Grandma, gw dan bonyok dan adek gw ke pesta pora di rumah pamannya bokap gw di Bintaro.

Bokap gw kepingin kita pergi ke suatu tempat dan nginep di sana. Tempat mana aja, nggak peduli. Pokoke, bukan di Bandung.

Itu tidak gampang, kata gw. Mau nginep di hotel mana? Seperti yang pernah gw bilang, pelayanan hotel-hotel merosot drastis pada hari Lebaran.

Ada beberapa hotel favorit gw di Anyer, Ancol, dan Puncak, tapi tempat itu penuh semua. Jadi pilihan terakhir, ke timur.

Gw nggak suka ide itu. Pasalnya, bokap gw nggak cukup kuat lagi buat nyetir sejauh itu.

Tapi bokap gw maksa. Intinya, kami nggak boleh pulang. Bokap gw bosan liat Bandung. Ini judulnya pelarian.

Jadi kami pergi. Gw nggak bisa bayangin ke kota mana kami akan pergi malam ini, di mana mau nginep. Kata bokap gw, nyetir secapeknya aja.

Untuk menambah keriaan, dua sepupu bokap gw kepingin ikutan lari. Jadi berangkatlah ketiga keluarga dengan tiga mobil ke arah timur Jakarta, jam tiga sore.

Dan ternyata halangan sudah dimulai di Bintaro. Antrean kendaraan menyemut di pintu masuk tol Bintaro bak siput ngantre beras. Ini hari Lebaran dan macet berat!

Gw duduk di bangku belakang sambil ngeliatin kendaraan yang mudik. Arus kendaraan begitu padat ke arah timur. Mobil-mobil beragam mengindikasikan lapisan ekonomi setiap keluarga pemudik, tapi hampir semuanya penuh. Gw paling seneng liat mobil yang ngangkut bawaannya di atas kap mobilnya, meringis bayangin apa aja yang berusaha mereka bawa sampai-sampai nggak cukup buat ditaruh di dalam. Ada sebuah Suzuki Carry yang nampak kepenuhan, gw liat di bangku depan ada dua bapak dengan dua anak kecil, jendelanya dibuka lebar-lebar, bikin gw memperkirakan nampaknya satu mobil itu mengangkut dua keluarga sekaligus dan mereka kepanasan.

Di depan Carry itu, ada juga sebuah APV, biarpun mobilnya lebih mewah tapi isinya sama aja, kepenuhan. Inilah potret umum keluarga-keluarga Indonesia di waktu Lebaran, mau melakukan apa aja untuk kumpul sama sodaranya di hari raya.

Berulang kali gw liat muka bokap gw yang berusaha nembus macet dari sepanjang tol Bintaro sampai tol Cikampek. Bokap gw ngantuk, capek, padahal tol belum ada setengahnya lewat. Gw berusaha bertanya, Are you sure that you wanna do this? Kita bisa aja berhenti di Cikampek lalu belok ke arah Padalarang dan pulang ke Bandung. Tapi bokap gw bersikeras nggak mau pulang.

Akhirnya salah satu sepupu bokap gw nelfon. Tante Rina sudah keluar di tol Cikampek, dan ternyata dipaksa polisi belok kanan ke arah Purwakarta. Padahal kalo mau menjalankan rencana kita ke Tegal, mestinya belok kiri.

Suami Tante Rina terdengar gusar. Bokap gw suruh mereka belok ke Subang, masuk area Kalijati. Nanti setelah dapat Kalijati, ambil jurusan Pamanukan, dan kita ketemu di Cirebon.

Dan setelah berjuang melawan macet, mobil bokap gw akhirnya berhasil keluar dari tol Cikampek. Aneh, bukannya dibuang pula ke Purwakarta, kendaraan kami diijinin polisi belok kiri ke arah Cirebon. Saat itu kira-kira jam lima sore.

Ternyata, pas Tante Rina lewat sini tadi, sedang terjadi kemacetan besar yang bikin polisi terpaksa memberlakukan sistem buka-tutup. Tante Rina dapet sistem tutup. Pas bokap gw yang lewat, sistem pun dibuka.

Akhirnya suami Tante Rina nyerah lantaran kecapekan. Mereka nggak mau lagi jalan ke timur dan milih balik lagi ke Jakarta.

Bokap gw, dan sepupunya yang lain, Om Heru, milih lanjut ke timur.

Gw nggak inget kapan pernah selama itu jalan ke timur. Rasanya perjalanan kok nggak sampai-sampai. Gw nyerah dan jatuh tertidur. Saat gw terbangun lagi jam tujuh dan liat papan nama toko-toko pinggir jalan, ternyata kita masih di kawasan Indramayu.

"Sudahlah, kita tidur di Cirebon aja," gw dengar bokap gw ngomong ke Om Heru di telepon. Tapi belum reservasi lho.

Gw melakukan satu-satunya yang gw bisa, yaitu browsing di HP gw. Gw nemu nama hotel incaran di Cirebon di Google, lalu gw telfon. Nyokap gw nawar-nawar tarif, tapi manajernya nggak mau ngalah. Kamar tipe kecil, mereka sewain dengan tarif mahal. Sediakan dua kamar, kata nyokap gw. Kata manajernya, kalo kami belum dateng juga jam 10 malem, kamar dikasihin ke orang lain. Siyalan. Cirebon masih 95 km lagi, ini baru jam 7.30. Bokap gw langsung ngebut.

Akhirnya, kami tiba di Cirebon jam 9.45. Ya Tuhan, macet bener pulau ini di hari Lebaran. Gw masuk kamar, dan langsung mandi.

Begitu besar keinginan kami buat pelarian, dan waktu suami Tante Rina menyerah dan mundur, gw sempat ngira bokap dan Om Heru akan nyerah juga. Tapi gw salah. Mereka ngeyel, dan akhirnya kami memang mencapai timur.

Tak ada yang gratis kalo kau ingin sesuatu. Kau harus berjuang untuk itu.

Gw berharap, andai gw mau mewarisi setengah aja dari semangat juang bokap itu.