Wednesday, September 30, 2009

Kehilangan Besar


Sudah 10 hari terakhir ini gw nggak ngapa-ngapain kecuali nulis e-mail Lebaran. Karena gw nggak suka pake robot bernama send-to-all, sedangkan yang mau gw kirimin jumlahnya ratusan, dan gw mempersonalisasi setiap e-mail yang gw kirimin, jadi kerjaan ini makan waktu lama.

Salah satu e-mail yang gw kirimin ke seorang kolega dua hari lalu, berbuntut balasan yang isinya menyedihkan. Ada yang baru saja meninggal.

Kolega gw umurnya 27, kerja di sebuah rumah sakit di Jakarta, sedang hamil lima bulan waktu gw kirimin e-mail Sabtu lalu. Tau-tau rahimnya kontraksi dan janinnya keluar. Bayi itu hidup, beratnya 390 gram, dan laki-laki. Pembentukan bagian-bagian badannyanya sudah sempurna semuanya, cuman matanya aja yang belum membuka. Kolega gw kasih dia nama seperti namanya seorang nabi. Empat jam kemudian, bayi itu meninggal.

Dalam balasan e-mail kolega gw kemaren, diceritakannya bahwa dia sudah ikhlas. Membaca e-mail itu bikin gw sedih bukan kepalang.

Kami para dokter umum selalu punya jawaban buat ibu-ibu hamil yang kehilangan janin mereka sebelum usia 20 minggu. Keguguran, Bu. Anaknya punya kelainan kromosom yang bikin dia sulit bertahan. Mungkin ayah atau ibunya pernah kecanduan alkohol atau ngebul melulu. Pokoke selalu ada penjelasan yang menenangkan untuk keguguran.

Pada ibu-ibu hamil yang kehilangan janinnya pada usia 7-9 bulan, juga ada penjelasannya. Maaf, Bu, anaknya terlilit tali pusat. Maaf, anaknya terhalang ari-ari. Maaf, tensi Ibu ketinggian jadi anaknya susah nafas. Dan sejuta alasan maaf lainnya.

Tapi gw belum pernah nemu jawaban yang menyenangkan buat ibu-ibu yang hamil dan kehilangan anak mereka pada usia antara 5-7 bulan. Tak ada hasil penelitian ilmiah yang memuaskan untuk itu. Kolega gw, termasuk deretan ibu-ibu itu.

Membayangkan anak itu sempat lahir, bernafas, dan sempat diberi nama oleh orangtuanya, sebelum meninggal, bikin hati gw remuk. Itu kehilangan yang besar.

***

Gw kehilangan seorang teman dua hari yang lalu. Teman yang dekat sekali. Gw masih heran bagaimana gw bisa kehilangan dia.

Tadinya semuanya biasa aja. Kita becanda, berkelakar. Sudah berbulan-bulan kita begitu. Sabtu lalu kita nontonin sebuah acara di tivi, lalu mulailah kita ngomentarin acara itu. Entah gimana, salah satu komentar kelakaran gw terhadap seseorang di acara itu jadi nyenggol perasaan temen gw. Dia membela orang itu habis-habisan, sementara gw diam aja coz kalo gw timpalin juga nggak ada gunanya. Ternyata sikap diam gw itu dikiranya gw marah.

Gw emang nggak setuju apa yang dia bilang, tapi gw nggak mau mengkonfrontasi dia kalo dia lagi semangat tinggi. Lagian menurut gw, it's just a stupid tv show, nggak perlu jadi ajang debat kusir. Teman gw dan gw sama-sama punya ilmu sendiri-sendiri, dan kita dibesarkan dalam latar belakang budaya yang berbeda, jadi menurut gw perbedaan pendapat itu wajar.

Besoknya, gw jelasin ke dia bahwa gw memang nggak berkenan dengan apa yang dia bilang hari sebelumnya. Ada beberapa poin yang gw nggak mufakat, dan gw merasa harus jujur bilang gitu kepadanya coz gw nggak kepingin kejadian ini berulang lagi besok-besoknya. Lagi-lagi dia bersikukuh dengan pendapat dia, dan lama-lama gw menyerah coz gw bingung gimana menjelaskan betapa pendapat dia bikin gw nggak nyaman.

Lalu dia bilang gw cuma mau benar sendiri, sudah dari dulu, banyak pertikaian kita yang bikin dia merasa harus mengalah demi gw. Disebutkannya satu per satu event-event yang tidak menyenangkan itu, yang gw sendiri sudah hampir lupa coz gw anggap masalah itu sudah selesai. Pembicaraan itu melebar tidak karuan ke mana-mana, dan dia bikin gw merasa sangat egois kepada dia dan korban-korban gw.

Mungkin apa yang dia bilang tentang gw itu benar. Tapi gw tetap nggak suka caranya berargumen yang nyenggol-nyenggol nilai-nilai yang gw anut. Gw nggak punya masalah dengan isi pembicaraan dia, tapi gw cuman nggak suka cara dia ngomong itu ke gw. Gw kepingin mempertahankan gw di sisi dia, tapi caranya mempertahankan prinsipnya sungguh mojokin gw..

Gw benci berantem. Kadang-kadang gw yang menang, tapi itu nggak bikin orang seberangnya nyaman. Kadang-kadang gw yang kalah, dan gw merasa dirugikan. Kedua kondisi itu, tak ada satu pun yang bikin gw senang. Kenapa harus ngotot-ngototan sih? Kenapa nggak ada win-win solution yang menyenangkan buat semua pihak?

Pertengkaran itu memasuki hari ketiga dan gw kelelahan. Gw minta maaf ke dia. Untuk semua yang telah gw lakukan dan gw bilang, yang sekiranya telah bikin dia nggak enak, baik dulu maupun sekarang, gw sangat menyesal. Gw bersikeras minta maaf sama dia. Tapi kemarahan dia terhadap gw terlalu besar. Semakin gw minta maaf, semakin gusarlah dia. Gw rasa, dia nggak mau denger apa-apa lagi dari gw.

Gw kehilangan dia. Dan rasanya sakit sekali.

***

Sewaktu kemaren gw baca e-mail kolega gw dan denger gimana dia kehilangan anaknya, gw merasa Tuhan sedang menguji kita semua dengan mengambil orang-orang tersayang dari hidup kita. Mungkin Dia merencanakan sesuatu untuk memberi kita pelajaran. Jagalah kehamilanmu baik-baik. Jagalah sahabatmu baik-baik. You don't know what you got till it's gone.

Gw hanya berduka coz rasanya seperti mimpi. Padahal rasanya baru kemaren gw ketawa baca setiap pesan teman gw dan ketawa denger becandanya di telepon. Dan pasti rasanya baru kemaren kolega gw masih ngelus-elus perutnya yang hamil bayangin anaknya. Sekarang semua itu udah nggak ada. Mereka semua udah pergi.

Setiap kali gw ingat pertengkaran yang buruk sekali itu, gw cuman teringat soundtrack-nya Reality Bites yang dimainin Lisa Loeb, "You say..I only hear what I want to." Dan tidak diragukan, gw yang kehilangan dia, gw sangat-sangat menderita karena itu.

Ini buat kolega gw yang baru kehilangan anaknya kemaren. Mudah-mudahan Tuhan kasih pengganti anakmu yang lebih baik.

Ini buat teman gw yang berantem sama gw dua hari lalu. I'm losing you. Gw kangen. Gw minta maaf. Dan gw nggak mau kita berantem lagi. Coz you remain a good friend, and you're irreplaceable to me.