Gw ngeh bahwa kita mesti rajin mbaca koran, tapi gw nggak tahu bahwa harus SERAJIN ITU kita mbaca koran.
Seorang kolega gw, sebut aja namanya Pak Casey, dibikin marah oleh bank tempat dos-q nanem deposito.
Jadi ceritanya gini, sekitar dua tahun lalu, bank tempatnya jadi nasabah ini promosi bahwa deposito mereka pasang bunga tinggi. Tergiur, Pak Casey pun pasang rekening deposito di sana. Menurut perjanjian, deposito itu berjangka waktu tiga bulan. Diperpanjang otomatis berikut bunganya. Ngomong-ngomong, bunganya 8,5% per tahun, jumlah yang cukup besar dan bikin siapapun ngiler.
Pada tiga bulan pertama, untuk melihat kinerja pelayanan bank, Pak Casey pun dateng ke bank buat nge-print jumlah terakhir dana depositonya. Ternyata betul, uang Pak Casey sudah berkembang biak sebanyak seperempat dari 8,5% dana awal dipotong pajak.
Tiga bulan berikutnya, dana pun dicek lagi. Uang sudah berkembang biak lebih banyak, termasuk dari bunga. Merasa percaya, Pak Casey memperpanjang deposito itu terus-menerus.
Karena sibuk, Pak Casey nggak dateng-dateng lagi ke bank. Memang dos-q jarang punya urusan buat ngobrol sama orang bank, coz lebih sering ngambil duit dari ATM. Tahu-tahu sudah dua tahun berlalu, dan Pak Casey teringat dana deposito yang dos-q tanam.
Maka isenglah dos-q nelfon pegawai bank yang neken formulir depositonya dulu, nanya sekarang dananya sudah berkembang jadi berapa. Si pegawai, sebut aja namanya Gemma, menyebut bahwa dana depositonya sudah sampai angka X. Pak Casey terkejut, kok jumlah terakhirnya cuman segitu. Gemma menjawab bahwa perhitungannya begini, lalu begini, lalu begitu. Ternyata, selama dua tahun ini Pak Casey mengira bahwa bunga depositonya tetap 8,5% sesuai perjanjian awal. Padahal, setelah tahun pertama, pemerintah nurunin suku bunga bank sehingga bank ini terpaksa nurunin bunga depositonya jadi 7,5%. Lama-lama bunganya turun lagi jadi 7%, kemudian jadi 6,5%, dan sekarang berhenti di angka 6%.
Pak Casey kan udah lama nggak main ke bank, jadi nggak tahu tentang turunnya bunga deposito itu. Tapi menurut Pak Casey, mestinya bank memberi tahu nasabah kalau bunganya turun. Coz dari awal nasabah hanya ngeh bahwa bunganya 8,5% dan perpanjang otomatis.
Intermezzo dulu ya. Gw tiap hari baca kolom bunga deposito di koran dan cukup hafal mana bank yang bunganya tinggi, dan mana bank yang bunganya cuman seupil. Bunga bank sudah banyak berubah dalam dua tahun terakhir, tapi lumayan stabil. Rata-rata bunga tiap bank memang turun selama ini. Bank-bank yang dulunya berbunga gede, sekarang bunganya udah nggak segede dulu lagi. Tapi saat ini, mereka tetap berbunga lebih gede ketimbang bunga di bank-bank yang lebih kecil.
Balik lagi ke urusan Pak Casey. Pak Casey sebel coz Gemma nggak kasih tahu dos-q bahwa bunganya turun. Disebutnya kinerja Gemma nggak bener ngurusin nasabah. Sebagai tindak lanjut, Pak Casey menyetop depositonya, menarik semua dana yang dos-q tanam di bank itu, termasuk menyetop tabungan hariannya juga. Pendek kata, dos-q nggak percaya sama bank itu lagi.
Gw menulis ini, coz gw juga sama kayak Pak Casey, awam tentang urusan perbankan. Sebenarnya kalau mau dirunut-runut ini cuman masalah manajemen komunikasi. Kalau bank berinisiatif bilang pada Pak Casey bahwa bunga deposito sudah turun dari 8,5% jadi 7,5%, mungkin Pak Casey nggak akan sepundung itu. Mungkin dos-q akan berhenti memperpanjang depositonya, tapi dos-q nggak akan sampek be-te dan nutup semua rekening tabungannya segala. Perlu digarisbawahi, di sini nasabah marah bukan karena bunganya turun, tapi nasabah marah karena bank NGGAK BILANG-BILANG bahwa bunganya turun.
Pelajaran moralnya di sini: Jangan pernah bikin konsumen kehilangan kepercayaan pada kita.
Gw bisa ngerti pembelaan bank. Nasabah mestinya mantau sendiri pergerakan suku bunga di koran, jadi dos-q bisa tahu sendiri kalau ada perubahan bunga. Maka pelajaran moralnya: Menjadi konsumen juga harus punya inisiatif.
Bagaimana ya, Sodara-sodara? Siapa yang mestinya banyak inisiatif, nasabah atau banknya?
Foto disamber dari http://mainstreet.com