Beberapa rumah, membangun ruang tamunya di lantai atas rumah itu. Penyebabnya antara lain, kondisi tanah tempat berdirinya bangunan itu memang di undakan perbukitan. Akibatnya seolah tanah bawah cuman muat buat garasi, jadi ruangan buat kegiatan keluarga dibangun di atasnya.
Tapi ada juga yang memang menaruh ruang tamu di lantai atas cuman buat gaya-gayaan. Sengaja supaya tamu yang datang bisa melihat pemandangan keluar a la ”sudut pandang burung” alias bisa melihat ke bawah. Biasanya karena memang keunggulan rumah ini berada di daerah puncak kota, sehingga dari jendela kita bisa melihat pemandangan seluruh kota.
Apapun alasannya, konsekuensi dari peletakan ruang tamu di lantai atas ini jelas. Harus ada tangga dari carport ke ruang tamu, supaya orang dari luar bisa masuk ke ruang tamu.
Kemaren, gw dan adek gw jalan-jalan ke kompleks real estate anyar di kawasan Bandung Utara. Area ini merupakan area yang ketinggiannya paling tinggi di Bandung, dengan kondisi lahan yang berbukit-bukit. Akibatnya banyak dibangun rumah-rumah dengan tangga di luar untuk menghubungkan carport ke ruang tamu. Adek gw sering bilang, “Wah, rumah itu bagus! Rumah yang itu juga bagus!”
Reaksi gw nggak sespontan itu. Gw cuman bilang, “Kalo kita tinggal di situ, Grandma nggak bisa masuk.”
Grandma gw udah 87 tahun, kalau jalan kudu pakai tongkat. Naik trap 2-3 aja udah jadi masalah besar buat Grandma gw, apalagi naik tangga. Maka gw pikir kalau buat masuk rumah aja kudu naikin tangga sampek segitu banyaknya, barangkali Grandma gw nggak akan bisa masuk ke sana.
Pentingkah nenek kita main ke rumah kita? Ya penting dong. Kalau orang tua sering bertandang ke rumah kita, maka akan ada banyak doa diucapin buat kita. Yah,bukan berarti kalau nggak dateng ke rumah kita lantas nggak ngedoain kita sih. Tetapi kan makin banyak doa yang diucapkan, berarti makin besar kontribusinya buat menjaga supaya kita selamat (misalnya dari bencana longsor, kebakaran, atau minimal kemalingan).
Gw jadi inget, orang-orang tua teman-teman gw banyak yang membangun rumah dengan dua lantai, di mana kamar tidur utama (yang rencananya ditempatin orangtuanya) dibikin sebagus mungkin di lantai atas. Hidup pun berjalan, lalu suatu ketika si orang tua sudah menua, kaki kena encok, nafas mulai ngep-ngepan kalau dipakai naik tangga, lama-lama orang tua ogah tinggal di kamarnya sendiri lantaran males naik-naik. Maka dia terpaksa pindah tidur ke lantai bawah, sehingga dosq nggak bisa lagi menikmati indahnya kamar tidur utama yang udah dos-q bangun dengan susah-payah.
Ini pelajaran buat kaum muda-mudi kayak gw yang udah mulai belajar cara-caranya merencanakan rumah sendiri. Hendaknya rumah yang kita tinggalin itu, nyaman buat nanti didatengin orang tua kita. Dan hendaknya kalau mbangun kamar tuh, kita seneng tinggal di kamar itu sampek kita tua renta nanti, bukan pas selama kita masih muda-belia doang.
“Sudahlah, Vic. Jangan kayak orang susah. Bikin aja katrol dalam rumah buat naik-turunin manusia, supaya nanti nggak usah naik-turun tangga segala. Betul, tidak?”
Gambar rumah di atas diambil dari sini