Wednesday, April 28, 2010

Episode Jembatan Merah

Banyak sekali pengalaman yang gw peroleh dari ngeblog, tapi baru kali ini gw nemuin kejadian “perang komentar” di blog gw. Kali ini gw akan berbagi pengalaman gw meladeni sebuah blog yang tadinya cuman tulisan biasa aja tapi berubah jadi sebuah episode pertikaian gara-gara ulah beberapa penonton.

Ceritanya, minggu lalu di Kompasiana.com gw merilis sebuah tulisan berbahasa linggis. (Tulisan lengkapnya baca di sini ya.)

Lalu datanglah seorang komentator, sebut aja namanya X, nampaknya orang Indonesia, berkomentar di tulisan gw. Katanya, tulisan linggis gw nggak karu-karuan. Ada kesalahan di sejumlah grammar dan vocabulary, dengan perincian spesifik di beberapa alinea.

Gw sendiri hanya membalas komentarnya X yang panjang lebar itu dengan ucapan terima kasih sebanyak satu baris. Sebenarnya gw nggak yakin bahwa apa yang dia koreksi itu benar, tapi gw nggak mau ambil pusing. Lagian, sebenarnya artikel itu sudah lama, jadi agak basi buat dikomentarin.

Kemudian datenglah seorang bernama Y. Gw menduga Y ini orang Kaukasus coz namanya bermarga sana. Lalu dia bilang, sebenarnya cara nulis gw itu udah bener kok, nggak ada yang salah. Justru koreksi yang diberikan X itu yang salah semua.

Gw mengklarifikasi di sana dengan menjelaskan maksud dari tiap alinea yang gw tulis di artikel itu. Kenapa gw memilih tense anu, kenapa gw milih vocab anu. Gw juga bilang terima kasih kepada Y coz udah komentar di tulisan gw.

Katanya Y, yang gw tulis itu udah oke. Memang kalau mau ngomong linggis itu kudu banyak belajar dan praktek. (sambil nge-wink ke X)

Katanya X kemudian, gaya nulis itu emang gayanya gw aja. Nggak problem.

Nah, kira-kira beberapa hari kemudian, alias kemaren, dateng seorang komentator lain bernama Z. Dos-q komentar dalam bahasa Indonesia, bilang X ini arogan dan sok bener sendiri, keliatan dalam beberapa tulisan yang telah dikomentari X di Kompasiana.com. Siyalnya, semua yang di-“koreksi” X itu salah pula. Dan itu terbukti di tulisannya Vicky Laurentina. Keliatan bahwa upaya X mengoreksi ternyata salah, untung diluruskan kembali oleh Y yang sebenarnya adalah guru linggis.

(Sampek di sini gw matiin internet di HP, coz gw mau tidur. Ternyata pas gw bangun dan gw on-line lagi, ketiga orang itu udah berdebat kusir di tulisan gw.)

X menangkis dengan bilang dalam bahasa Indonesia, bahwa Y itu cuman berusaha mem-back-up penulis (maksudnya Vicky) supaya penulisnya nggak minder. (Ouch! Minder?! Orang ini jelas nggak kenal gw. Gw nggak pernah minder!)

Y menyangkal. Lalu bilang bahwa sebaiknya X buka website-nya BBC buat belajar bahasa linggis. Z bilang sebaiknya X minta maaf ke Y coz udah salah menilai. Akhirnya X minta maaf sama Y, soalnya Z “maksa” X buat minta maaf. “..he had a grude with me for being a dick on other discussion,” kata X.

Y maafin X, dan suruh kedua pria itu temenan aja. Kata X, sebenarnya dia temenan sama Z kok, cuman ya emang gitu cara mereka “berinteraksi”, temenan kayak Bush dan Ahmadinejad. Kata Z, dia nggak maksa X minta maaf ke Y kok. Dan dia nggak merasa temenan sama X mirip Bush dan Ahmadinejad.

(Ada yang pusing nggak baca tulisan gw ini? Gw aja pusing lho mendeskripsikannya, hehehe..)

Gw buru-buru motong diskusi dengan bilang bahwa kalau sampai ada komentar baru lagi yang nggak berhubungan dengan topik utama tulisan, gw akan hapus!

***

Jadi,kadang-kadang ada aja jemaah gw di blog ini dan blog gw yang satunya yang protes, kenapa komentar di blog gw kudu dimoderasi, kayak penjahat aja dicurigain. Inilah maksud gw, gw nggak mau ada komentar nggak sopan muncul di blog gw, coz komentar kayak gitu potensial banget nyakitin hati orang lain. Meskipun sebenarnya jemaah blog gw rata-rata orangnya baik-baik, tapi kan pasti ada aja satu-dua orang nggak sopan.

Sekalinya gw ngeblog di Kompasiana, semua komentar bisa masuk tanpa moderasi dulu, akibatnya gw sulit mengontrol komentar-komentar nggak sopan. Contohnya ya pada kasus X, Y, dan Z di tulisan gw tadi. Ntie mereka berantem deh. Padahal kan asal-muasalnya cuman gara-gara salah satu salah menyangka bahwa bahasa linggis gw dodol. Sedangkan gw merilis tulisan itu bukan buat meminta orang komentarin bahasa linggis gw, tapi gw mau buka diskusi tentang kosmetik anti-UV buat pria yang bisa mencegah pria jadi item.

Gw memang sengaja mendesain tulisan gw di blog itu dengan pola keluarkan masalah, lalu jemaahnya berdiskusi dan bantu cari ide untuk nemu solusi. Ternyata jemaah blog gw cukup bejibun, berasal dari macam-macam umat intelegensia dan sudut pandang, makanya diskusi tentang hal remeh pun jadi menarik. Namun kali ini, tulisan gw di Kompasiana.com itu jadi ajang berantem, dan kalau gw nggak waspada sedikit lagi, bisa-bisa tulisan gw jadi jembatan merah tempat perang komentar. Padahal etika di blog itu di mana-mana sama: Boleh aja mengkritik isi tulisannya. Tapi jangan pernah menyerang penulisnya atau menyerang komentator lain.

Mari ngeblog. Mari berkomentar. Mari berusaha bikin dunia lebih baik tanpa harus nyakitin orang lain. To be a better place, for you and for me. Waduh, gw kayak lagunya Jacko aja.

Eh, gambarnya ngambil dari sini lho.