Gw nggak ngerti apanya yang “common” dengan nama Abdul. Apakah setiap orang bernama Abdul itu pasti akan dipelototin ekstra oleh petugas imigrasi, sama seperti polisi Bandung melototin dada ibu-ibu yang naik mobil karena nyari-nyari apakah ibu-ibu nggak pakai sabuk pengaman?
Tidak bisa dipungkiri, peristiwa 9/11 sudah merusak citra orang-orang Arab, sehingga orang-orang dengan nama berbau Arab sering dipelototin ekstra ketika bepergian ke negara-negara tertentu yang mengobarkan semangat antiterorisme secara berlebihan. Dicurigainya yang namanya bau-bau Arab itu simpatisan teroris, jadi mesti diperiksa ketat. Kasihan sekali warga-warga yang namanya bau Arab kalau gitu.
Gw jadi mikir, sekiranya gw orang
***
Nama gw Vicky Laurentina. Gara-gara nama itu, banyak yang ngira gw Katolik, Kristen, atau minimal Tionghoa. Padahal agama gw Islam. Gw sendiri nggak pernah ambil pusing kalau gw dikira bukan muslimah. Gw pikir, sebodo amat orang mengira gw nggak religius, yang penting Tuhan tahu gw muslimah. Agama gw itu urusan gw dan Tuhan, bukan urusan orang lain.
Suatu ketika, sekitar sepuluh tahun lalu, nyokap gw yang baru seneng-senengnya ikut pengajian pertama kali, mengeluh ke bokap gw, kenapa nama gw bukan nama Islami. Nyokap gw malah nawarin manggil gw dengan nama lain yang kebetulan rada berbau Arab, tapi gw menolak. Bukan gw menolak nama berbau agama atau etnis tertentu. Tetapi gw pikir, ketika bokap gw ngasih nama gw pertama kali waktu gw lahir, bokap gw pasti berdoa dulu. Doa itu original. Kalau nama gw diganti dengan nama lain, berarti doa original yang dulu diucapkan bokap gw, nggak akan terucapkan lagi dong?
Suatu ketika, gara-gara nama gw, gw pernah dapet yang nggak enak juga. Dalam suatu makan siang di kantin bareng teman-teman kuliah, seorang adek kelas menghampiri kami dan nyebarin undangan ikutan tabligh akbar. Si neng itu memberikan tiap orang di meja kantin itu undangan satu per satu (undangan itu nggak ada nama penerimanya), tapi gw satu-satunya yang nggak dikasih undangan. Beruntungnya teman gw ada yang ngeliat, lalu negor si neng itu. “Eh, Dek, teteh yang ini nggak dikasih?”
Si neng itu terkejut dan nampak salah tingkah. Dengan malu dia kasih undangan juga ke gw, seraya bilang, ”Maaf, Teh.* Kirain, (Teteh ini) non-i..**”
Nyokap gw pernah bertanya ke gw, kalau gw punya anak nanti, mau nggak gw kasih nama yang berbau Islami? Gw abstain. Pikiran gw cuman satu: kalau gw punya anak, gw nggak mau paspor anak gw dipersulit untuk masuk negara tertentu cuman gara-gara namanya disangka bersodara sama teroris.
***
Dan lagian, nggak semua nama Arab itu pasti Muslim. Di jazirah Arab
Membuat gw sadar bahwa ternyata ada negara yang pengetahuan sejarah dan geografi penduduknya lebih bobrok ketimbang
Memeluk agama itu hak prerogatif tiap orang. Menamai anak, entah itu dengan nama yang religius ataupun dengan nama yang tidak religius, itu juga hak pribadi tiap orang. Ya nggak usah dicurigain macam-macamlah, mulai dari yang nggak diundang ke tabligh akbar, apalagi sampek ditahan di ruang interogasi imigrasi segala.
Haruskah orang paranoid bahwa nama seseorang berarti berasosiasi dengan agama tertentu, dan agama tertentu diasosiasikan dengan teroris? Dan haruskah kita terobsesi untuk menamai anak dengan bau agama tertentu, cuman gara-gara takut dikira anak kita nggak religius?
*Teteh = sebutan untuk mbak-mbak di kalangan masyarakat Sunda
**non-i = kode di kalangan pelajar dan mahasiswa, biasa digunakan untuk menyebut mereka yang bukan muslim