Saturday, April 10, 2010

Lain Kali Pakai Rantang

Dalam suatu artikel keluaran sekitar sepuluh tahun lalu, X-tina Aguilera pernah bilang bahwa kadang-kadang keluarganya bela-belain nggak mau makan burger dari restoran cepat saji yang cukup beken di Amrik. Alasannya sungguh sepele, karena pegawai-pegawainya mengemas makanan dalam wadah styrofoam.

Sewaktu itu gw belum ngeh tentang kenapa seseorang bisa antipati nggak mau makan bawa pulang cuman gara-gara dibungkus wadah styrofoam, sampai kemudian gw belajar tentang kimia di SMA.


Foto ini dijepret beberapa minggu lalu, waktu gw iseng jajan bubur ayam di Tangerang. Ada orang lain yang rupanya pesan bubur sebelum gw, jadi gw baru diladenin belakangan. Sambil nunggu pesanan, gw ngeliat bagaimana bapak-bapak ini mengemas pesanan buat pelanggannya, lalu gw sadari apa yang nggak beres: Bapak ini masih pakai stryrofoam buat mewadahi bubur ayamnya.

Memang, styrofoam itu wadah yang praktis banget. Makanan tetap segar kalau disimpan di dalam sini, selain itu biaya produksi styrofoam cukup murah sehingga harga jualnya juga murah. Dilihat secara estetika, mewadahi bubur dalam styrofoam nampak lebih keren ketimbang cuman di dalam plastik. Bukan begitu?

Yang tidak diketahui banyak orang, styrofoam mengandung suatu bahan benzena yang lumayan berbahaya buat badan manusia. Seperti yang kita ketahui semua, bahwa begitu makanan atau minuman masuk ke mulut kita, semua bahan itu akan dilumat bulat-bulat oleh usus kita, lalu diolah menjadi zat-zat gizi di dalam tubuh. Sebagian tentu saja tidak bergizi, maka zat-zat yang tidak menjadi gizi itu akan berubah menjadi urin atau feses, dan dikeluarkan dari badan kita dalam bentuk pipis atau pup.

Semua? Tidak semua.

Ada beberapa zat yang nggak bisa diolah jadi gizi, tapi juga tidak bisa diolah menjadi urin atau feses. Rokok adalah salah satunya. Juga benzena dari styrofoam ini. Zat-zat macam beginian akan nongkrong terus di dalam badan kita, sampai kapanpun nggak akan pernah keluar kecuali kita sudah tamat alias meninggal. Yang merepotkan, zat-zat beginian akan numpuk dan menyatu dengan sel-sel asli di badan kita, bahkan mengubahnya menjadi kanker.

Pada kasus penggunaan styrofoam untuk membungkus bubur ayam ini, suhu tinggi oleh bubur yang masih panas-panas akan menguraikan pigmen-pigmen dari styrofoam sehingga pigmen-pigmen itu akan masuk ke makanan. Minyak yang masih panas dari makanan menghasilkan kolesterol, dan kolesterol itu mudah larut dengan bahan styrene di dalam styrofoam. Kesimpulannya, kalau kita makan makanan yang dibungkus di dalam styrofoam, maka benzena dalam styrofoam itu ikut dimakan oleh kita. Dan tidak akan pernah keluar-keluar dari badan kita.

Bapak-bapak yang jualan bubur ayam itu tidak tahu tentang ini.

Gw akhirnya tetap sarapan bubur itu, tapi gw minta makan di tempat supaya gw makan pakai piringnya si bapak.

Sekarang gw berusaha ngapalin restoran-restoran mana aja yang masih pakai styrofoam buat bungkusin makanannya, supaya gw nggak usah pesan bawa pulang dari restoran itu. Sebisa mungkin, kita menghindari styrofoam buat bungkusin makanan-makanan kita. Membungkus bubur ayam dalam plastik sekali pakai mungkin masih lebih baik buat badan, meskipun ujung-ujungnya tumpukan plastik tetap merusak lingkungan juga. Barangkali gw lain kali bawa rantang aja sekalian kalau mau bawa pulang bubur ayam.

Ada ide?