Monday, April 19, 2010

Gadis, Berkondelah!

Sekali-kali, perhatiin deh mahasiswa jaman sekarang yang lagi wisudaan. Selalu ada aja pemandangan unik yang menarik perhatian: remaja-remaja veteran dengan jubah kebesaran, bawa keluarganya yang setumpuk dari kampung, sampek tukang bunga dan tukang foto dadakan yang ngejepret-jepret muka orang sembarangan.

Kali ini gw mau cerita tentang adek gw yang baru wisuda. Gw udah cerita kan, adek gw baru dilantik jadi dokter. Upacara tahap pertamanya kan tiga minggu lalu udah gw tulis di sini, bikin gw dan bonyok waswas setengah mati sepanjang acara. Soalnya adek gw itu nggak biasa pakai kebaya, jadinya sepanjang acara tuh kain batik adek gw kayak yang mau melorot gitu dari ikatannya. Pas adek gw maju nerima surat penahbisan sumpah dokter dari dekannya, gw lihat tuh ujung batiknya adek gw udah mau nyapu lantai, pertanda ikatannya longgar. Makanya sepanjang dia jalan di panggung tuh gw sibuk berdoa, "Please jangan melorot.. Please jangan melorot!"

Nah, kalau wisuda mahasiswa kedokteran kan upacaranya tiga kali. Upacara pertama adalah wisuda sarjana kedokteran untuk yang S1-nya. Upacara kedua adalah pengambilan sumpah dokter oleh rohaniawan. Baru upacara ketiga adalah pemberian ijazah gelar profesi dokter dari universitas. Biasanya upacara yang kedua ini disepelekan oleh mahasiswanya, maksudnya nggak dianggap butuh persiapan istimewa gitu. Soalnya menurut rundown acara, wisudawan cuman dateng pakai toga, dipanggil namanya, salaman sama dekan, terima map kosong, terus duduk manis sampek acara selesai. Gitu doang. Garing kan?

Nah, lantaran upacara wisuda ketiga ini nggak istimewa amat, adek gw pun nggak terlalu minat nyiapinnya. Dos-q masih trauma gara-gara kainnya nyaris melorot waktu itu, sehingga mutusin kalau kali ini dos-q wisuda nggak akan pakai kain kebaya. Percuma, katanya. Ngapain ribet dandan pakai kebaya, toh nanti pas difoto salaman sama dekan kan kebayanya ketutupan oleh jubah wisudanya.

Tapi yang lebih ekstrem lagi, dos-q ogah kondean lagi pas wisuda. Soalnya pas mau sumpah dokter lalu, dos-q kudu ngantre di salon dari jam empat pagi buat kondean. Ya oloh, cewek tuh, mau wisuda aja kok ribet bener ya?

Terus dos-q minta nasehat gw. Ini akan jadi langkah besar. Soalnya tradisi di kampus manapun juga sama: cewek kalau mau wisuda pasti pakai kebaya dan kondean. Mosok adek gw mau wisuda pakai celana panjang dengan rambut shaggy diurai-urai?

Memang nggak ada ketentuan yang mewajibkan wisudawati pakai kebaya. Kan peraturannya, wisudawati memakai baju nasional. Terus kalau nggak pakai kebaya, emangnya dikasih sanksi? Apa ada orang udah capek-capek dateng pakai toga dan jubah ke wisuda, terus dekannya bilang gini, "Ijazah Anda tidak jadi diberikan karena Anda tidak pakai kebaya."

Gw nggak masalah kalau adek gw nggak mau pakai kain, tapi gw nggak suka idenya ngegerai rambut pas wisuda. Gw bilang, "Nanti kamu difoto salaman sama Dekan, mosok kamu rambutnya digerai awut-awutan gitu? Nanti fotonya jelek!"

Jawab dos-q, sebagai mahasiswa profesi dokter, dos-q udah menjalani upacara dua kali, yaitu pas upacara wisuda S1 dan upacara sumpah dokter. Besok akan jadi ketiga kalinya upacara, untuk pengukuhan gelar dokternya, artinya akan jadi tiga kali dos-q difoto sembari salaman sama dekan. Apa foto salaman sama dekan itu mau dipajang di ruang tamu tiga-tiganya?

:-p

Tapi sebagai veteran mahasiswa kedokteran dan kakak yang cerewet, gw tetep menitah, "Gelung!"
Terserah adek gw mau kondean di salon, atau rambut kondean pakai jaring a la pramugari.

Memang, wisuda mahasiswa jaman sekarang nggak kayak jaman dulu. Dulu, wisuda dianggap sakral coz hidup seseorang disebut berhasil jika orang itu tamat kuliah. Tapi sekarang, orang lulus kuliah dan punya gelar apapun, belum ada apa-apanya kalau dia cuman jadi pengangguran.

Paradigma baru itu ternyata berpengaruh besar. Wisudawan nggak mau lagi bawa mbahnya berikut budhe-nya ke upacara, tapi cukup bawa bonyoknya aja. Wisudawan nggak mau dandan habis-habisan pas hari wisuda, tapi cukup pakai kemeja di balik jubah. Yang cewek malah nggak mau kondean, tapi cukup rambut diuwel-uwel ke pucuk kepala pakai jepit, terus umpetin cepolannya di dalam toga. Praktis!

Tapi, seberapapun praktisnya sekarang mahasiswa nyiapin wisudanya, gw tetap minta ke adek gw, "Nanti kalau kamu difoto pas salaman sama orang yang meluluskan kamu, kamu harus nampak seperti lulusan terhormat. Karena kamu sekolah dengan susah-payah, dan proses itu yang akan dikenang untuk seumur hidup kamu, bukan mengenang perkara kamu pake konde apa enggak."

Jadi, pas hari H, adek gw nurutin gw. Dos-q bangun pagi-pagi, jam 4, lalu pergi ke salon dan membayar seorang penata rambut buat bikinin cepol ber-hairspray di tengkuknya.

Ketika dos-q keluar dari kamar dengan toga dan jubah menutupi kebaya dan celana panjangnya, Grandma kami yang duduk di ruang tamu menatapnya dan terharu. "Mau wisuda ya?"

"Iya," jawab adek gw dengan suara kekanakan.

Dan gw lihat sinar bangga di mata orang tua itu. Dos-q sudah berhasil punya cucu sarjana, satu orang lagi.

Fotonya diambil dari sini