Wednesday, May 20, 2009

Memoar Sesak


Besok tanggal 21 Mei 2009. Sebelas tahun yang lalu, tepat tanggal ini, gw nggak inget jam berapa, mungkin jam 9 atau jam 9.30, gw dengar volume tivi di rumah gw mendadak dikerasin. Gw lari ke ruang tivi; bokap gw, nyokap gw, adek gw, duduk kaku menatap tivi, dan di layar tivi ada orang baca pidato yang intinya ngundurin diri jadi presiden.

Gw terhenyak. Nggak salah nih? Orang ini kan udah jadi presiden jauh sebelum gw lahir. Umur gw hampir 16 waktu itu, gw mengira sampai gw sendiri tua nih orang mungkin akan tetap jadi presiden.

Setelah pidato itu kelar, gw liat kedua bonyok gw tersenyum. Entah kenapa mereka tersenyum. Gw menunduk dan bilang syukurlah.

Syukurlah, sudah dua minggu terakhir kondisi dunia bikin gw mual. Tiap hari gw telat pulang dari sekolah, coz angkot gw sibuk nyari jalan yang nggak diblokir mahasiswa yang lagi demo. Tiap hari ada aja mahasiswa demo, dan makin hari demonya makin angot. Kalo gw nyalain tivi, berita isinya demo melulu. Mereka bilang, ribuan mahasiswa dari kampus-kampus di seluruh Jakarta memenuhi gedung DPR. Banyak yang bahkan naik ke atapnya gedung yang mirip kue apem terjungkir itu. Gw cemas, coz sepupu gw juga ikutan demo. Ya Tuhan, mudah-mudahan dia bawa payung. Di situ kan panas banget.

Gw nggak pernah peduli sama situasi politik di Indonesia. Gw selalu diwanti-wanti, jangan ngomong yang jelek-jelek tentang pemerintah. Liat aja pakde gw yang lulus insinyurnya sampai telat gara-gara sering demo ke profesornya. Tapi sejak gw lulus SD, gw sering heran ada yang nggak beres dengan negeri kita. Kenapa teman gw yang bloon dari kelas satu SD bisa masuk SMP favorit dengan NEM tinggi, tapi malah nggak naik kelas waktu SMP. Maka gw belajar bahwa ternyata pegawai Dinas Pendidikan dan Kebudayaan yang nulis NEM itu bisa disogok. Dan itu terjadi di semua instansi. Saat itulah gw belajar tentang istilah kolusi, korupsi, nepotisme. Dan gw pun mulai bertanya-tanya kenapa ada orang jadi presiden, anaknya yang satu jadi menteri, anaknya yang satu lagi jadi parlemen, dan anaknya yang satu lagi jadi penguasa jalan tol Cengkareng.

Mungkin itu sebabnya mahasiswa pada demo semua. Sepupu gw di ITB cerita bahwa teman-temannya sekarang sering kumpul massal di lapangan dan nggak kuliah. Atau tepatnya nggak bisa kuliah. Lha dosennya nggak ngajar, sibuk proyek di luar yang cuma nguntungin kantongnya sendiri. Akibatnya tugas akhir mampet, dan mahasiswa jadi susah lulus. Sialnya kampus nekat naikin SPP, padahal saat itu pemerintah baru naikin BBM gara-gara krisis ekonomi '97. Itu yang bikin mahasiswa naik darah dan demo sampai ke gedung MPR.

Lalu suatu hari di tanggal 14 Mei '98, gw lagi dengerin radio gaul kesayangan gw, tiba-tiba siaran berhenti. Penyiarnya ngumumin, ada mahasiswa Trisakti baru meninggal setelah ditembak waktu lagi demo di gedung MPR itu. Kenapa diumumin di radio Bandung, coz mahasiswa yang meninggal itu adalah warga Bandung bernama Hafidin.

Lalu besoknya di sekolah gw beredar kabar yang lebih buruk. Ternyata, Hafidin yang meninggal itu adalah kakaknya teman seangkatan gw di sekolah.

Saat itulah gw merasa sangat berduka. Gw selalu iri coz gw nggak pernah punya kakak laki-laki, jadi gw kesiyan liat teman gw kehilangan protektornya karena mati ditembak tentara. Dan tentara yang bunuh itu pasti disuruh komandan. Komandan disuruh pejabat di atasnya. Dan pejabat di atasnya itu adalah..?

Sekarang gw udah gede, umur gw 26. Teman gw yang adeknya Hafidin itu juga udah 26. Sepupu gw yang ikutan demo ke gedung MPR itu, sekarang udah meninggal lantaran kena mumps. Hidup semua orang berjalan biasa. Sudah empat kali ganti presiden sejak 21 Mei '98, tapi nggak pernah pembunuh yang bertanggungjawab atas meninggalnya Hafidin sebagai korban Tragedi Senayan, dihukum.

Apakah sistem hukum kita yang salah? Apakah rakyat kita yang cenderung permisif, pemaaf, atau pelupa?

Siapa yang bunuh Hafidin? Siapa yang nembak mahasiswa-mahasiswa di Senayan dan Semanggi? Siapa yang nyulik aktivis dan bunuh mereka? Siapa yang bunuh rakyat Aceh dan Timor Timur di era '70-'90-an itu?

Orang yang tau itu semua masih ada. Kita tau persis itu. Dan (bisa jadi) mereka sekarang masuk tivi tiap hari.

Jangan buta, Sodara-sodara. Kalo orang-orang jahat jadi pejabat lagi, mungkin kita akan kembali ke masa sebelum 21 Mei '98 dulu. Dan kematian Hafidin, Munir, hilangnya Pius, dan aktivis-aktivis lainnya jadi sia-sia. Nggak ada lagi bebas ngritik penguasa. Blog-blog yang tukang protes akan diblokir seperti di Thailand. Mau tau seperti apa rakyat yang dibungkam keras penguasanya? Lihat aja Myanmar atau Afganistan.

Kita beruntung, jalan kita masih ada. Internet nggak diblokir. Orang bebas protes. Nggak ada kewajiban jadi PNS. Dan presiden pun boleh milih sendiri.

Jangan pernah beri jalan buat orang jahat untuk jadi penguasa. Cuma kita yang bisa melindungi diri sendiri. Berpikirlah, berdoalah, dan lebih penting lagi..bertindaklah!