Friday, May 29, 2009

Merk Penting Yak?


"Vicky, kalau mau lihat seorang laki-laki itu high quality atau bukan, lihat saja dari arloji atau sepatunya. Kalau arloji atau sepatunya bermerk, sudah pasti laki-laki ini high-class.."

Seorang purnawirawan marsekal yang sering nulis di Kompas, menulis ini kepada gw, setelah baca tulisan gw "Imagologi Arloji" di blog ini minggu lalu. Kata-katanya nggak persis begitu, tapi kurang lebih intinya begitu. Semula gw mikir, wah kesiyan dong para laki-laki yang fashion-gadgetnya nggak bermerk, berarti mereka kualitas rendah? Tapi karena pernyataan ini diucapkan seorang marsekal berusia 62 tahun, maka gw pun ngendapinnya dulu.

Kadang-kadang gw merasa rancu dengan kata "bermerk". Maksudnya apa? Nggak mungkin barang dijual tanpa merk, bisa dipalsuin dong. Apakah merknya harus terkenal? Atau merknya keluaran impor?

Sekarang di blogosphere lagi rame perdebatan turunan dari pemilihan presiden. Mana yang lebih baik, neoliberalisme atau ekonomi kerakyatan? Sebuah perdebatan kacangan yang menurut gw nggak penting. Memangnya kita yang orang awam ini ngerti apa itu neoliberalisme atau ekonomi kerakyatan?

Nama ekonomi kerakyatan seolah mengesankan rakyat dijunjung tinggi untuk memperoleh penghasilan banyak. Akan ada akses gede-gedean untuk barang-barang hasil produksi rakyat. Pendek kata, jargon "Aku cinta produk Indonesia" akan dimanja habis-habisan. Ini katanya lho.

Sebaliknya, neoliberalisme akan kasih akses segede-gedenya buat semua orang yang punya modal untuk berkarya. Siapa yang punya duit, dia boleh bikin barang sendiri dan jual ke pasar sesuka dia. Yang nggak punya duit, harus berusaha dapet modal supaya nggak kalah saingan. Kalo jadi nih, investor asing akan gampang berkembang di Indonesia coz mereka jelas lebih berkembang ketimbang investor pribumi.

Maka, akan membanjirlah produk-produk bermerk yang katanya terkenal dan imporan itu, sehingga menekan keberadaan produk-produk tidak bermerk. Ini yang ditakutkan oleh kaum anti-neoliberalisme sehingga mempropaganda bahwa neoliberalisme itu jelek.

Gw nulis ini sambil ngeliatin sepatu-sepatu gw yang gw tata di apartemen gw. Gw sudah lupa kapan gw beli sepatu itu. Sepatu gw awet, dan tahan lama. Mungkin juga coz perjuangan gw beli sepatu juga nggak instan. Gw kalo mau beli sepatu, ada tahap-tahapnya: naksir di etalase, nyobain di kaki, melotot liat harganya, ngembaliin ke rak dan pergi belagak nggak butuh, keliling mondar-mandir ke toko sepatu lain dan ngulangin ritual yang sama, mutusin sepatu mana yang paling bikin gw kangen, dan pada akhirnya kembali ke toko dan beli sepatu yang gw taksir.

Mungkin itu sebabnya sepatu gw nggak gampang pensiun. Memang harus jadi selektif banget kalo beli sepatu, tapi itu sangat berguna untuk waktu yang lama.

Setelah gw pikir-pikir, analisa Pak Marsekal buat gw ada benarnya juga. Bukan cuman laki-laki, tapi tiap orang pun, mestinya kalo beli barang juga jangan yang merk sembarangan. Arloji dan sepatu itu kan dipake untuk waktu lama, jadi pilihlah barang yang kualitas tahan lama. Apa ada orang mau beli arloji dan sepatu buat gonta-ganti tiap bulan? Sialnya, barang yang kualitasnya tahan lama itu cuman barang-barang bermerk!

Lalu, apakah barang bermerk itu harus dari luar negeri? Gw nggak setuju. Produk-produk lokal kita banyak yang bagus-bagus kok. Gw aja hampir selalu ngerasa cantik kalo liat baju-bajunya Sebastian Gunawan atau Ghea Sukasah. Baru liat aja udah ngerasa cantik, apalagi kalo udah make ya?

Gw nggak bilang bahwa produk Indonesia kalah daripada produk luar. Tapi gw harus akuin bahwa masih banyak produk kita yang nggak bagus dan nggak awet. Batik Jogja dan batik Sasirangan aja bisa beda jauh kualitasnya. Di Jogja sendiri, batik di Bringharjo dan batik di Malioboro juga beda mutu. Warna yang gampang luntur, serat yang cepet sobek, tekstur yang kasar. Padahal kan sama-sama batik bikinan Indonesia.

Dian Siagian-Decante pernah nulis di blognya bagaimana dia nemu lingerie Victoria's Secret dengan label "Made in Indonesia". Udah bukan rahasia lagi bahwa banyak barang produk kita diekspor keluar, lalu di luar negeri dijual lagi dengan merk asing. Orang Indonesia yang masih bermental inlander begitu senangnya liat merk asing, dan kita rela ngerogoh berdolar-dolar supaya bisa bangga pake barang bermerk luar negeri. Padahal barang itu dibikin di dusun kita sendiri!

Nggak pentinglah kita mau urusin apakah negara kita mau berpaham neoliberalisme atau ekonomi kerakyatan. Kita cuman perlu belajar tentang cara bikin produk yang lebih bermutu, dan gimana cara mengemas penjualannya supaya menarik lebih banyak pembeli. Kita lebih butuh bantuan pendidikan termasuk pelatihan, bukan sekedar bantuan duit tunai. Dan kalo kementerian perindustrian dan perdagangan nggak punya cukup anggaran buat ngajarin kita, biar swasta asing aja yang kasih modal.

Jadi, ayo kita cek barang-barang di rumah kita. Sudahkah kita make barang bermerk? Ups..salah. Maksud gw, sudahkah kita make barang produk Indonesia yang berkualitas?