Tuesday, May 5, 2009

Waspada = Tidak Ramah


Menurut guyonan para dokter yang nyeleneh kayak gw, flu babi yang ngetop di Mexico itu bukan ditularin oleh babi, tapi sengaja disebarin oleh produsen masker. Lha gimana enggak, semenjak minggu ini Mexico dibikin panik oleh wabah flu itu, semua orang merasa terpaksa harus pake masker. Ya pegawai rumah sakit lah, pegawai bandara lah, pegawai restoran lah, bahkan sampai pegawai hotel pun juga pake. Gimana perasaan Anda kalo masuk hotel, lalu disambut resepsionis tidak dengan cengiran ramah, tapi separo muka resepsionisnya ketutupan masker?

Ini mengingatkan gw pada beberapa tahun yang lalu, waktu beredar wabah flu burung dan SARS di kawasan Asia Timur dan Tenggara. Pemberitaan pers yang jor-joran bikin semua warga panik, dan terpaksa menggelandang di jalan-jalan sambil pake masker. Para pengusaha mode yang kreatif malah melihat masker sebagai pangsa pasar baru yang wajib diinovasi. Maka lahirlah beragam masker dengan tampang yang unik-unik. Ada yang bikin masker dengan motif polkadot, motif kembang-kembang, sampai motif zebra. Anak kecil yang nggak mau mulutnya dibekap, dirayu disuruh pake masker yang ada gambar Winnie the Pooh. Bentuk masker pun nggak selalu segiempat kayak foto gw di atas, tapi ada yang bundar, ada yang bentuk segilima, wah pokoknya macem-macem deh. Pendek kata, wabah boleh menyerang, tapi kreativitas kudu tetap jalan.

Maka timbul pertanyaan, dengan keharusan semua orang pake masker, apakah ini akan menangkal penyebaran flu dengan signifikan? Jawabnya, tidak. Coz, kunci dari mencegah penularan flu adalah memaksa semua orang untuk hidup sehat dan mengisolasi penderita dari orang banyak. Kalo si penderita flu tetap lenggang kangkung jalan-jalan, mau dia pake masker berlapis-lapis pun, orang lain di dekatnya tetap ketularan. Berapa kecil sih ukuran pori masker kalo dibandingin sama ukuran cairan yang keluar dari bersinnya penderita?

Alhasil, parade masker di mana-mana ini nggak kasih manfaat apapun selain nguntung-nguntungin pabrik masker. Kalo Anda adalah seorang pengusaha masker, baiknya Anda menginovasi produk masker bikinan Anda, coz gw meramalkan sebentar lagi masker-masker jadi nggak laku. Insidensi flu babi (sekarang namanya jadi influenza A, soalnya nama yang lama telah mojokin industri ternak babi) sudah mulai menurun. Orang-orang yang terinfeksi mulai sembuh. Dan mungkin lusa anak-anak Mexico boleh masuk sekolah lagi. Tinggallah masker-masker yang belum laris terpaksa diobral. "Dipilih, dipilih, dipilih.."

Sebenarnya make masker ini wajar-wajar aja lho. Terutama untuk perlindungan dari penyakit. Malah direkomendasikan supaya setiap rumah sakit mendaulat unit gawat daruratnya supaya tiap pegawainya pake masker. Pasalnya, orang berpenyakit menular biasanya masuk ke rumah sakit via UGD (ya iya lah, mau lewat pintu yang mana lagi?). Beberapa rumah sakit yang ngakunya berstandar internasional di Bandung, bahkan memrotokoli dokter UGD-nya buat pake masker selama bertugas.
"Supaya nggak kena cipratan ludah pasien TBC?" tanya gw.
"Bukan," kata kolega gw yang kerja di situ. "Supaya muka kita nggak dikenali kalo berbuat kesalahan, hehehe.. Ya iyalah, Vic. Kalo kita ampe disatronin pasien flu burung, matilah kita diisolasi di kamar dan cuma ngarep makan sama perawat-perawat yang berpakaian seperti pasukan Hazmat!"

Nah, soal standar waspada di UGD ini, ada yang lucu. Suatu hari di UGD tempat gw kerja dulu, ada pasien stroke yang bolak-balik muntah darah melulu. Mantri gw terpaksa pasang slang ke idungnya pasien supaya muntahnya berhenti. Yaa namanya darah kalo dimuntahin, pasti baunya bukan main, kan? Jadinya mantri gw pake pengaman lengkap: sarung tangan dan masker.

Setelah sang pasien muntah darah terkendali, datanglah pasien lain yaitu balita umur dua tahun. Mantri gw buru-buru copot sarung tangannya, cuci tangan, lalu nyambut si balita sambil nuntun dia ke timbangan anak. Wuaa..si anak begitu liat mantri gw, langsung jerit-jerit ketakutan. Padahal mantri gw orangnya baik lho, dan lagi tidak sombong, hehehe..

Akhirnya seorang mahasiswa kedokteran yang lagi magang mengambil alih si anak. Gw nowel mantri gw, lalu berbisik ke dos-q, "Mungkin Bapak dikira satria baja hitam.."

Sang mantri buru-buru minggat, lalu ngumpet dulu di kamar dalam. Terus keluar lagi, kali ini maskernya dicopot. Kemudian dideketinnya lagi si pasien anak itu. Ajaib, anaknya nggak nangis lagi! Malah nurut aja waktu sang mantri ngukur nadi pergelangan tangannya.

Jadi, gimana menurut Anda? Masker bisa jadi adalah tanda perlindungan waspada terhadap penyakit. Tapi masker yang dipake perawat atau dokter juga malah bikin pasien nggak nyaman. Bukankah semua pasien ingin para dokter dan perawat tersenyum? Lha gimana orang-orang berbaju putih ini mau nampak senyum ramah, kan senyumnya ketutupan masker..!